Bagaimana fenomena “Fantasi Sedarah” dilihat dari sudut pandang multidisiplin informatika dan psikologi? Apa hubungannya dengan self-censorship, chilling effect, culturally-sensitive Artificial Intelligence, responsible AI, serta etika dan hukum digital, juga Pendiri Facebook yang sempat meminta maaf?
Pengukuhan Guru Besar bidang Psikologi Sosial berlangsung di Universitas Bina Nusantara (BINUS University) pada 29 Maret 2023, dengan orasi berjudul Melawan Korupsi Ilmu: Trajektori Sains Terbuka dan Psikoinformatika, dihadiri secara luring (onsite) diantaranya oleh :
Guru Besar Tamu, Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Prof. Drs. Koentjoro Soeparno, M.B.Sc., Ph.D., Psikolog.
Guru Besar Tamu, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari, M.Hum., Psikolog.
Guru Besar Tamu, Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Prof. Dr. Fendy Suhariadi, M.T., Psikolog.
Direktur Penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia, Bapak Brigjen Pol. Asep Guntur Rahayu, S.I.K., S.Psi., M.H.
Ketua Umum Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Bapak Dr. Andik Matulessy, M.Si., Psikolog.
Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Keagamaan Kristen Indonesia dan Rektor Sekolah Tinggi Teologi Ekumene, Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th.
Ketua Pengurus Yayasan Tarumanagara, Associate Professor Dr. Ariawan Gunadi, S.H., M.H.
Penasihat Ikatan Psikologi Sosial – Himpunan Psikologi Indonesia, Prof. Dr. Mochamad Enoch Markum;
Ketua Senat Akademik Universitas Prasetya Mulya, Prof. Andreas Budihardjo, Ph.D.
Otak Manusia dan AI Sedang Berevolusi Menuju Singularitas
Oleh: Tauhid Nur Azhar
Sebagaimana juga topik bahasan terkait perilaku koruptif yang telah dielaborasi oleh Prof Juneman Abraham dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Binus University.
Beliau mengelaborasi topik perilaku koruptif dalam beberapa proposisi yang amat menggelitik area berpikir kritis kita semua. Ada rangkaian sebab akibat yang bekerja di sana. Hingga saat kita hendak mengekstraksi berbagai faktor yang mempengaruhinya, secara filsafat kita harus terlebih dahulu membereskan masalah episteme yang menjadi pangkal nalar untuk menganalisanya sesuai kadar yang tertakar serta tidak terdistorsi berbagai falacy.
Sebuah teknopsikologi dibutuhkan untuk memahami era digital ini. Di-coin-nya istilah technopsychology dan sejenisnya (psikoinformatika, sosioteknologi, dan sebagainya) sekadar menggambarkan betapa bersenyawanya (bukan hanya ‘betapa eratnya’) keduanya. Para filsuf telah membahas, bagaimana kebenaran teknologis (technological truth) dimediasikan oleh human hermeneutics guna mengangkat/menyejahterakan umat manusia.
The threshold “error” is our complicity … (Amster, 2018)