Category Archives: Bangsa

Psikologi Menanggapi Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Dr. Juneman Abraham, S.Psi. memaparkan mengenai Yurisprudensi Terapeutik (Therapeutic Jurisprudence) yang didalaminya sebagai sebuah kajian ilmiah psikologi forensik yang dipetik dalam Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Kajian sistematik terhadap Hukum Terapeutik dilakukannya sejak lebih dari satu dekade yang lalu, tepatnya tahun 2008, terbit di Jurnal Kajian Ilmiah (JKI) Universitas Bhayangkara Jaya (Ubhara Jaya) Vol. 9 No. 3, 2008. Hal ini sekaligus ikut menegaskan minat dan kiprahnya dalam bidang psikologi kebijakan publik.

Kegiatan ini turut dihadiri dan diberikan paparan oleh Ibu I Gusti Ayu Bintang Darmawati, selaku Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Ibu Dr. Livia Istania D. F. Iskandar, M.Sc., selaku Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). PDI Perjuangan, selaku penyelenggara kegiatan, memang mengadakan Diskusi Kelompok Terpumpun/Focus Group Discussion (FGD) terkait Urgensi Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual guna menggali informasi dan masukan dari berbagai pihak. Menyadari pentingnya peran masyarakat sipil maupun lembaga-lembaga di luar Legislatif, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) diantara pihak yang diundang untuk memberikan masukan pada acara tsb. Adapun FGD dilaksanakan pada: Selasa, 28 Juli 2020 Pukul : 14.00 sd selesai.

Dr. Abraham merupakan salah seorang representasi HIMPSI (Ketua Kompartemen Riset dan Publikasi) bersama Ketua Umum HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia), Prof. Dr. Seger Handoyo, Prof. Dr. Yusti Probowati (Ketua II), Dr. M. G. Adiyanti (Ketua III), Dr. Andik Matulessy (Sekjen), Sri Tiatri, Ph.D. (Ketua Kompartemen Pengembangan Profesi Psikologi dan Kode Etik), dan Dr. Preysi Siby (Bendahara).

Dalam rangka penghapusan kekerasan, Dr. Abraham sebelumnya telah berpartisipasi dalam Menumbuhkan dan Merawat Asa Perubahan Perilaku Pada Laki-laki Pelaku Kekerasan Melalui Konseling serta ikut mengadakan seminar Gender in Justice di BINUS University.

Ketua Umum HIMPSI, Prof. Dr. Seger Handoyo, Psikolog

Pembicara Kunci (Keynote Speaker) / Sesorah-nada-dasar* Dalam Konferensi Studi Perilaku

Meskipun telah banyak kali sebagai penyaji (presenter) makalah dalam berbagai event internasional, Rabu, 24 Juni 2020 merupakan kali kedua saya menjadi Pembicara Kunci (Keynote Speaker) dalam sebuah konferensi ilmiah internasional, setelah sebelumnya berbicara di KU Leuven, Belgia.

Konferensi ilmiah itu adalah AMER ABRA International Virtual Conference on Environment-Behaviour Studies, atau disingkat AIVCE-BS. AMER ABRA sendiri merupakan singkatan dari Association of Malaysian Environment-Behaviour Researchers – Association of Behavioural Researchers on Asians/Africans (Persatuan Penyelidik-Penyelidik Perilaku Orang Asia/Afrika) .

Sebagaimana disebutkan dalam prospektus ini, sejak 2009, saya menjadi Keynote Speaker ke-83 dalam seluruh rangkaian konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan oleh AMER ABRA.

Sejumlah nama lainnya yang pernah menjadi Keynote Speakers juga adalah Prof. Dr. Gary Evans (Cornell University), Emer. Prof. Dr. Christopher Spencer (University of Sheffield), Assoc. Prof. Dr. Ir. Iwan Sudradjat (ITB), Prof. Dr. Roger Fay (University of Tasmania), Emer. Prof. Dr. Robert Marans (University of Michigan), Assoc. Prof., Dr. Shenglin Elijah Chang (National Taiwan University), Prof. Dr. Emil Salim (Council of Advisors to the President of the Republic of Indonesia), Dr. Kate Bishop (University of New South Wales), Ar. John Brennan (University of Edinburgh).

Dalam keynote speech ini saya berbicara mengenai The Psychology of Corruption: How far we have moved in research. Saya memaparkan perkembangan studi psikologi korupsi di Indonesia dan dunia pada umumnya, memaparkan hasil-hasil studi saya bersama tim peneliti psikologi korupsi, serta memberikan sejumlah rekomendasi ke depan.

Konferensi ilmiah internasional yang diselenggarakan AMER ABRA sangat menjaga mutu publikasinya. Komite/panitia memiliki tradisi untuk mengumumkan Best Paper Awards. Nomor urut pertama dari paper yang menerima awards kali ini adalah paper yang ditulis oleh Dr. Ni Ketut Agusintadewi dari Universitas Udayana, Indonesia. Suatu hal yang membanggakan!

Catatan kaki:
*) Padanan bahasa Indonesia dari keynote speech sebagai “sesorah-nada-dasar” saya peroleh dari Prof. Liek Wilardjo dari UKSW. Saya mendengar sendiri pertanggungjawaban istilah Indonesia tersebut sewaktu menjadi salah seorang penyaji dalam konferensi “Menggugat Fragmentasi dan Rigiditas Pohon Ilmu“, di mana saya membawakan sebuah makalah.

Menjadi Penilai IDEAthon Ristek/BRIN

Dr. Juneman Abraham memperoleh kepercayaan untuk menjadi salah seorang penilai IDEAthon #Inovasi Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Ristek/BRIN.

IDEAthon bertumpu pada gagasan “Kebijaksanaan Orang Banyak” (Wisdom of the Crowd), sebagaimana disampaikan oleh Prof. Ismunandar. Hal ini sangat bermanfaat sebagai medium rakyat Indonesia untuk melakukan inovasi terbuka dan bergotong-royong menghadapi pandemi Covid-19 (Corona Virus Indonesia). Gerakan sosial ini melengkapi inisiatif yang sudah ada dari Kemenristek/BRIn, yakni pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19. 

Dalam kesempatan ini, Dr. Abraham melakukan penilaian terhadap 72 dari 4617 proposal yang lolos verifikasi administratif awal. Setiap proposal dinilai oleh 2 orang penilai/reviewer. Total terdapat 57 penilai yang memperoleh kehormatan diundang oleh Kemenristek/BRIN untuk memberikan pertimbangan seleksi proposal kepada Komite/Panel Penilai Kementerian. Kegiatan penilaian ini berlangsung cukup singkat, yakni pada Kamis hingga Sabtu, 23-25 April 2020.

Berikut ini adalah sejumlah flyer, serta dokumentasi foto kegiatan yang diikuti oleh Dr. Abraham, mulai dari Penyamaan Persepsi dan Penilaian bersama dengan Tim Ahli Ristek/BRIN dan LPDP, hingga Pengumuman Penerima Penghargaan oleh Menteri Ristek/Kepala BRIN, Prof. Bambang Brodjonegoro, yang diliput oleh berbagai media massa nasional. Beliau menyatakan:

“Kami menyelenggarakan ini untuk menjaring berbagai ide dari kelompok masyarakat. Tidak hanya dari sisi penyakit atau kesehatannya, tapi juga bagaimana kita bisa memitigasi dampak ekonomi dan sosialnya.”

Kegiatan IDEAthon ini merupakan sumbangsih yang luar biasa dari Kemenristek/BRIN dalam menghadapi persoalan nasional

Psikolog Sosial BINUS Berpartisipasi Dalam Penyusunan RUU Dosen

Pada 27 Juli 2018, Dr. Juneman Abraham, psikolog sosial dan lecturer specialist Universitas Bina Nusantara hadir bersama dengan Tim Pengkaji Kebijakan Pendidikan Tinggi Ikatan Dosen Republik Indonesia di Ruang Badan Keahlian DPR RI dalam rangka sebagai salah satu narasumber penyusunan naskah akademik dan draft Rancangan Undang Undang tentang Dosen.

Salah satu regulasi dalam pengelolaan sumber daya pendukung pendidikan nasional diatur melalui Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. UU tentang Guru dan Dosen merupakan payung hukum dalam mengatur guru dan dosen namun dalam implementasinya belum spesifik.

Dalam kesempatan tersebut, berlangsung diskusi berdasarkan kepakaran, diantaranya tentang: perlunya pemisahan UU tentang Guru dan Dosen (menjadi UU tentang Guru & UU tentang Dosen), deregulasi dan debirokratisasi pendidikan tinggi, caturdarma, serta kesejahteraan dosen termasuk tunjangan fungsional dan kinerja.

 

 

Sebelumnya, Tim serupa telah menelurkan sebuah buku berjudul Kajian Pendidikan Tinggi IDRI untuk DPR RI dan Ristek Dikti 2018 yang diterbitkan oleh ITB Press (ISBN 9786025417931) dan diberikan kata pengantar oleh Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Berikut ini adalah salah satu Bab yang ditulis oleh Juneman: https://osf.io/nz7v9/

 

Technical Working Group Penyusunan Pedoman Perlindungan Hak Perempuan dan Anak

Pada 25 September 2017, Juneman Abraham berpartisipasi dalam sebuah kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat yang bertujuan untuk meninjau (review) penyusunan Pedoman Teknis dan SOP Perlindungan Hak Perempuan dan Hak Anak dari Kekerasan Berbasis Gender Pada Situasi Bencana. Koordinator Rumpun Psikologi Sosial-Komunitas pada Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara ini turut menjadi representasi organisasi profesi Himpunan Psikologi Indonesia menyampaikan pandangan berdasarkan keahlian (psikologi) dalam sebuah pertemuan kelompok kerja teknis (technical working group) yang dilaksanakan di Ruang Rapat Martha Tiahahu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak, berdasarkan Surat Tugas No. 607/PP-HIMPSI/ST/IX/17 menjawab Undangan Sekretaris Kementerian PP-PA No. B-1347/KPP-PA/Sesmen/RorenData/09/2017.

Fokusnya adalah untuk memastikan bahwa prosedur yang dilakukan sensitif dan menjawab kebutuhan khusus penyintas dalam situasi darurat serta dapat menjadi kesadaran semua pihak, bahwa pada situasi bencana, perempuan dan anak memiliki kerentanan pelanggaran hak yang berdampak serius dan mengancam keselamatan jiwa. Hasil yang diharapkan adalah agar pemerintah dan semua elemen masyarakat dapat merancang, mengembangkan, dan membangun mekanisme koordinasi lintas klaster untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan berbasis gender pada situasi bencana.

Komunitas yang ditargetkan adalah petugas/pendamping/pekerja kemanusiaan dan segenap pihak yang merespon bencana — untuk memudahkan mereka dalam menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan penanganan bagi korban yang mengalami kekerasan berbasis gender dalam situasi darurat kemanusiaan/bencana yang terintegrasi dalam program-program mereka

Kegiatan ini dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dengan turut melibatkan Himpunan Psikologi Indonesia serta Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Komnas Perempuan, P2TP2A DKI Jakarta, KEPPAK Perempuan, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, LBH APIK, Parisadha Buddha Dharma NSI, dll.

 

Juneman di KEmenterian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Juneman di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

 

Dalam paparan dan konsultasinya, Juneman Abraham selaku perwakilan Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara dan Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia menyampaikan bahwa: Pertama, penyusunan Panduan ini perlu memperhatikan aspek komunikasi dan membedakan antara istilah populer (misalnya, split personality; “kepribadian terpecah”) dan istilah formal diagnosis (misalnya, Dissociative Identity Disorder, “Gangguan Identitas Disosiatif”) pada penyintas bencana.

Kedua, perlu ditambahkan bahwa Psychological first aid (PFA) adalah salah satu cara berbasis ilmiah, respon pertama (segera setelah terjadinya peristiwa) yang dilakukan dalam durasi yang singkat untuk melakukan penguatan dan memberikan dukungan psikologis kepada orang lain yang mengalami tekanan peristiwa sulit (peristiwa krisis, peristiwa darurat, peristiwa traumatis). Laporan-laporan meta-analisis menunjukkan bahwa keilmiahan dari PFA merupakan tantangan tersendiri bagi penyusunan standar pelaksanaan maupun pelatihan. Di era evidence based practice, maka aspek ini perlu diberikan prioritas penekanan dalam pedoman dan SOP.

Ketiga, dalam konteks reintegrasi/rehabilitasi sosial, perlu diwaspadai apakah tepat jika pekerja sosial, konselor, dan psikolog ditujukan untuk turut membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi spiritual, padahal bantuan yang diberikan (tertulis dalam Panduan) sebatas bantuan psikologis serta sosial.

Feasibility Implementasi sampai pada tingkat Desa, sebagaimana dikemukakan oleh MPBI (Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia) sangat perlu mendapat perhatian karena mendasarkan pada keragaman kewilayahan serta keragaman peraturan yang memayungi di tingkat pusat dan daerah.

Tiga Rangsangan Riset yang Berorientasikan ‘Customer’

Perkataan customer-oriented research setidaknya membawa ingatan saya pada 3 (tiga) buah peristiwa yg pernah saya alami.

Pertama adalah workshop Jurnal Humaniora yang saya ikuti di UGM. Ketua Redaksi waktu itu (sekitar 2013) menyatakan bahwa beliau punya konsen tentang bagaimana publikasi ilmiah dari orang Indonesia tetap juga dapat dinikmati oleh seluas-luasnya masyarakat Indonesia. Di sini menyangkut pula persoalan bahasa. Yang mengesankan saya adalah ungkapan beliau, bahwa meskipun sudah memiliki kiprah publikasi pada tingkat internasional, beliau masih juga menyempatkan diri untuk menulis di jurnal-jurnal ilmiah maupun majalah-majalah yang dianggap ‘kecil’ yang berbahasa Indonesia agar hal-hal yang beliau ketahui turut terjangkau oleh para dosen, mahasiswa, dan awam yang masih juga banyak membaca publikasi yang demikian. Hal ini menurut hemat saya sangatlah inspiratif.

Peristiwa kedua adalah paparan keynote speaker Prof Murnizam Hj. Halik di Auditorium Universitas Mercu Buana Jakarta saat konferensi Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi tahun 2013. Beliau memaparkan puluhan contoh artikel jurnal yang dari judul dan abstraknya sudah sangat super-spesialistik serta memuat alur mediasi dan moderasi sejumlah variabel dengan sofistikasi sangat tinggi. Beliau waktu itu bahkan agak ‘menantang’ audiens, siapa sajakah di antara komunitas ilmuwan maupun praktisi PIO yang hadir yang bisa mengerti dan menjelaskan ulang judul dan abstrak tersebut. Tampaknya waktu itu beliau mengkontekskan paparan tersebut dalam rangka aplikabilitas riset untuk memenuhi kebutuhan riil masyarakat ASEAN.

Pengalaman ketiga, adalah membaca ulasan beberapa tahun lalu di Koran Kompas oleh Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J., salah seorang guru besar etika yang paling masyur di Indonesia, mengenai bahwa dalam hal filsafat, masyarakat Indonesia lebih membutuhkan pengembangan filsafat yang ‘generalis’, seperti wawasan tentang bagaimana umumnya pemikiran Karl Marx, bukan pemikiran Marx yang sudah sampai ‘printilan’-nya. Hal ini juga berdampingan, tetapi bukan bermaksud defensif, dengan kenyataan sebagian kesulitan dosen filsafat di Indonesia ‘menembus’ jurnal filsafat papan atas yang tidak sedemikian diikuti diskursusnya oleh kebanyakan dosen-dosen filsafat di Indonesia (tidak pula seperti di beberapa negara maju di mana perkumpulan dlm bidang filsafat cukup pesat berkembang).

Oleh sebab itu, saya menganggap penting bagi kita untuk mempertanyakan ulang, “Siapakah sebenarnya konsumen, dan pemangku kepentingan keseluruhan dari penelitian kita? Bagaimana sebuah ‘customer-attentive research‘ mau didefinisikan dan diupayakan?”. Hal ini patut dijawab selekasnya karena akan menyangkut banyak aspek dari kebijakan perjurnalan kita. [Bandingkan juga dengan tulisan saya baru-baru ini: Pelajaran dari Nobel Laureate tentang Keragaman dalam Penelitian].