Monthly Archives: February 2015

Psikolog Sosial BINUS University Berpartisipasi Dalam Rapat Kerja I HIMPSI

Salah satu komponen akreditasi program studi adalah Kepemimpinan Publik. Dijelaskan oleh BAN PT bahwa “Kepemimpinan publik berkaitan dengan kemampuan menjalin kerjasama dan menjadi rujukan bagi publik”.

Sejak 2007 (belum menjadi dosen) hingga 2014, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., terlibat dalam kepemimpinan publik selaku anggota Pengurus pada Himpunan Psikologi Indonesia Wilayah DKI Jakarta (Himpsi Jaya). Selanjutnya, sejak 2014, ia menjabat sebagai Ketua Kompartemen Keorganisasian dan Keanggotaan pada Pengurus Pusat Himpinan Psikologi Indonesia (PP Himpsi).

Pada 31 Januari hingga 1 Februari 2015, Juneman turut berpartisipasi dalam Rapat Kerja Pertama Himpunan Psikologi Indonesia yang diselenggarakan di Hotel Millenium Sirih, Jakarta.

 

Juneman Abraham (tengah) bersama Brigjen TNI Dr. Arif Budiarto, D.E.S.S. (Ketua Ikatan Psikologi Sosial; kiri) dan Dr. Yus Nugraha, M.A. (Ketua Himpsi Wilayah Jawa Barat; kanan)
Juneman Abraham (tengah) bersama Brigjen TNI Dr. Arif Budiarto, D.E.S.S. (Ketua Ikatan Psikologi Sosial; kiri) dan Dr. Yus Nugraha, M.A. (Ketua Himpsi Wilayah Jawa Barat; kanan)

 Sejumlah hal menjadi keputusan Rapat Kerja I ini adalah:

  1. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
  2. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Tata Kelola Organisasi.
  3. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Program Kerja.
  4. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Iuran Anggota. Penetapan besaran iuran ditambahkan manfaat (benefit) yang bisa diberikan oleh HIMPSI kepada anggotanya, yakni 2 kali pelatihan (salah satunya pelatihan kode etik psikologi) sebagai salah satu bentuk peningkatan kompetensi pada anggota.
  5. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Surat Izin Praktik Psikologi (SIPP).
  6. Keputusan-keputusan yang terkait dengan standarisasi Kompetensi di Asosiasi/Ikatan. Masing-masing Asosiasi/Ikatan akan membuat peta kompetensi dengan memperhatikan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Berdasarkan peta kompetensi dan kebutuhan di lapangan akan disusun pelatihan untuk peningkatan kompetensi anggota.
  7. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Kerjasama.
  8. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Pengembangan Tes. Pengurus Pusat akan membentuk unit usaha Pengembangan Tes Psikologi Indonesia. Masing-masing Wilayah diharapkan untuk mengirimkan sumber daya manusia yangmemiliki kompetensi dalam bidang Psikometri untuk ditugaskan sebagai Tim Penyusun Tes Psikologi. Pengembangan tes psikologi harus memperhatikan hak cipta.
  9. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Program Nasional. Seluruh Wilayah dan Asosiasi/ikatan mengadakan berbagai kegiataan secara bersama pada waktu bersamaan pada Hari Kesehatan Mental Sedunia pada tanggal 10 Oktober.
  10. Keputusan-keputusan yang terkait dengan Surat Tanda Registrasi (STR) bagi Psikolog Klinis yang bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Ikatan Psikologi Klinis (IPK) akan memfasilitasi pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) dengan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) paling lambat akhir bulan Juni 2015.
  11. Keputusan-keputusan yang terkait dengan ARUPS 2017.

Dosen Psikologi BINUS Menjadi Reviewer Konferensi Internasional

Dosen merupakan sebuah profesi yang sehari-harinya melaksanakan tridarma perguruan tinggi, yang terdiri atas (1) Mengajar dan mengikuti pendidikan, (2) Meneliti, dan (3) Mengabdi kepada masyarakat. BINUS University memperluas lagi cakupan darma menjadi caturdarma, dengan penambahan darma keempat, yakni (4) Mengembangkan diri.

Karakteristik Profesi yang tertera dalam Wikipedia (http://id.wikipedia.org/wiki/Profesi), lebih khusus lagi karakteristik kesepuluh, merupakan karakteristik yang jarang diperhatikan (karena kata “profesional” sering diidentikkan dengan “profesi berbayaran tinggi”), sebagai berikut:

Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.

Karakteristik ini menepis anggapan bahwa dosen merupakan kaum intelektual yang “duduk di menara gading”, yang asyik dengan ilmunya sendiri sampai menjadi buta akan keadaan sekelilingnya. Layanan publik yang bermutu (yang tidak sekadarnya) yang diberikan oleh dosen tidak terlepas dari catur darma yang dikemukakan di atas, malahan boleh disebut sebagai salah satu “muara” dari darma-darma tersebut, yang memberikan dimensi aksiologis dari kegiatan dosen.

Saling menjaga mutu karya ilmiah sejawat dalam komunitas dosen barangkali merupakan salah satu aktivitas dosen yang kurang populer, lebih khusus lagi bagi masyarakat umum dan profesi non-dosen. Di samping kurang populer, aktivitas ini juga meminta pencurahan keahlian demi pengembangan sejawat (meskipun tidak kasat mata seperti memberikan pelatihan), yang mencerminkan karakteristik altruistik (devosi/pengabdian pada kepentingan orang lain) dari profesi dosen sebagaimana disebutkan di atas.

Salah seorang dosen Psikologi BINUS, Juneman Abraham, merasa bersyukur karena dalam berbagai kesempatan memperoleh kepercayaan untuk menelaah (me-review) naskah-naskah hasil pemikiran maupun penelitian empiris ilmiah dari rekan-rekan sejawatnya, yang akan diterbitkan baik dalam jurnal lokal, jurnal nasional, maupun jurnal internasional.

Salah satu kegiatan reviewing tersebut dilakukannya dalam Asia Pacific International Conference on Environment-behaviour Studies (AicE-Bs 2014Berlin) yang berlangsung di Jerman.  Ia menjadi salah seorang Reviewer of Elsevier’s Journal Procedia-Social and Behavioral Sciences Vol 168, produk konferensi ini, yang diterbitkan pada awal 2015 (http://www.sciencedirect.com/science/journal/18770428/168 ).

Semoga penelaahan tersebut bermanfaat bagi komunitas peserta konferensi yang peduli terhadap relasi timbal-balik antara perilaku manusia dan lingkungannya, serta berdampak bagi riset dan praktik lanjutnya.

 

Penerbitan Januari 2015 di ScienceDirect
Penerbitan Januari 2015 di ScienceDirect
Cover Journal of Procedia
Cover Journal of Procedia

 

AicE-Bs2
Cuplikan Daftar Reviewer

 

Sejak 2012, Juneman juga merupakan salah seorang anggota tim penyunting penelaah pada Jurnal Humaniora: Language, People, Art, and Communication Studies (ISSN 2087-1236) terbitan Universitas Bina Nusantara.

Menumbuhkan dan Merawat Asa Perubahan Perilaku Pada Laki-laki Pelaku Kekerasan Melalui Konseling

Pada 14-16 dan 21-23 November 2014, dosen Jurusan Psikologi BINUS, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. berpartisipasi dalam pelatihan konseling terhadap klien laki-laki (male counseling) di Hotel Cipta, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pelatihan ini merupakan hasil kerjasama antara Yayasan PULIH dan RutgersWPF.

Selama enam hari ia menjalani pelatihan dan mengikuti case conference (sesi pembelajaran dari kasus) untuk kasus-kasus yang sesuai dengan topik konseling laki-laki (konseling pelaku kekerasan). Pelatihan ini diikuti oleh 24 peserta (psikolog, ilmuwan psikologi, mitra PULIH, fasilitator serta aktivis Laki-laki Peduli) yang memenuhi persyaratan, antara lain pernah mengikuti seminar/pelatihan tentang jender dan maskulinitas, bersedia hadir setiap hari secara penuh (pukul 08.30 s/d 17.30 WIB), dan bersedia menerapkan ilmunya untuk membantu PULIH manakala membutuhkan konselor untuk melakukan konseling pelaku kekerasan/ konseling laki-laki.

Latar belakang pelatihan ini adalah sebagai berikut: Di berbagai bagian di dunia, muncul kesadaran bahwa untuk dapat memutus siklus kekerasan, laki-laki juga perlu menjadi target dalam intervensi berbasis jender. Banyak perempuan, baik penyintas (survivor) KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) maupun yang memberikan layanan, menyadari bahwa KDRT tidak akan dapat dihapuskan bila intervensi hanya difokuskan pada perempuan. Program Konseling bagi Laki-laki adalah bagian dari program Laki-Laki Peduli (MenCare+) yang secara khusus mempromosikan keterlibatan laki-laki dalam mempromosikan kesetaraan jender.

Dalam pelatihan ini, materi yang dibelajarkan antara lain (1) pemahaman tentang seks dan jender, (2) pemahaman mengenai maskulinitas, (3) menjawab pertanyaan mengapa laki-laki ‘pelaku’ melakukan kekerasan, (4) Kekerasan terhadap Perempuan Berbasis gender (KTPBG) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT); karakteristik pelaku kekerasan, pasangan dan anaknya, (5) strategi intervensi berbasiskan model ekologi, (6) model perubahan perilaku, (7) diskusi kasus dan hasil penelitian tentang laki-laki pelaku kekerasan, (8) teknik-teknik intervensi, (9) bermain peran (praktik memberikan konseling), dan (10) debriefing.

Juneman, SCC Community Psychology, BINUS University (kedua dari kanan) mengikuti salah satu sesi dalam Pelatihan Male Counseling
Juneman, SCC Community Psychology, BINUS University (kedua dari kanan) mengikuti salah satu sesi dalam Pelatihan Male Counseling

 

Di samping prinsip-prinsip dan teknik-teknik umum konseling yang dipelajari dalam pelatihan ini, pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai perilaku kekerasan yang menjadi target intervensi pengubahan. Diingatkan bahwa kekerasan itu berwajah banyak dan seringkali berpangkal pada relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam budaya patriarki (budaya yang mengistimewakan laki-laki; perempuan = ‘second class’). Dengan demikian, ada hal yang spesial dari konseling ini. Program MenCare (Male Counseling) ini memandang kekerasan dalam relasi bukan hanya merupakan persoalan miskomunikasi antar pasangan (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan berkomunikasi), bukan hanya persoalan mengatasi rasa marah secara lebih asertif (sehingga hanya perlu diberikan keterampilan mengelola emosi), bukan pula hanya persoalan bagaimana memperlakukan pasangan. Yang sering luput dari perhatian umum, dan ditantang untuk didefinisikan ulang adalah hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sesungguhnya inilah yang dibedah dalam teori-teori feminis, yakni mendudukkan persoalan ketidakadilan jender pada tempatnya dan membongkar relasi yang tidak setara itu.

Pelatihan ini juga memberikan wawasan mengenai siklus kekerasan, serta mengapa korban banyak yang ‘memilih’ tinggal/bertahan di dalam siklus tersebut. Di samping itu, pelatihan ini membekali konselor agar memiliki keyakinan dan sikap yang optimistis mengenai perubahan perilaku dan prosesnya (walau disadari: tidak bisa serta-merta) pada sasaran intervensi, yakni laki-laki pelaku kekerasan, serta tidak lupa berjejaring dengan support systems yang sejalan dengan maksud dan tujuan intervensi. Konselor juga diajak untuk memahami kondisi sosial-kultural masyarakat yang cenderung ‘membela’ hegemoni maskulinitas dan menunjukkan tingkat ‘permisivitas’ terhadap kekerasan. Banyak pula proses legal-formal yang sebaiknya dipahami dan dipertimbangkan oleh konselor, dan oleh karena itu konselor dalam pelatihan ini dipapar dengan peraturan yang berlaku di negeri ini yang relevan dengan kekerasan dalam relasi dan konsekuensinya.

Model ekologis yang lebih komprehensif dalam memetakan sebab-sebab kekerasan memberikan bekal kepada para konselor mengenai kelebihan dan kelemahan dari berbagai penjelasan tentang kekerasan Oleh karenanya, muncul insight bahwa intervensi pun hendaknya diberikan dalam berbagai lapisan ekologi manusia. Di sinilah satu lagi letak kespesialan dari konseling ini, yakni konseling berperspektif ekologis yang menantang dominasi budaya patriarki serta memotivasi ‘power sharing antara laki-laki dan perempuan.

 

Foto Bersama Fasilitator dan Peserta Pelatihan Male Counseling
Foto Bersama Fasilitator dan Peserta Pelatihan Male Counseling

 

Konselor juga diberikan pemahaman mengenai multi-perannya, menegakkan prinsip-prinsip utama konseling, serta bagaimana mengelola dirinya. Semua ini turut dikembangkan melalui bermain peran dan simulasi, yang kemudian dievaluasi melalui sesi-sesi sharing. Yang perlu disadari adalah bahwa dinamika konseling pelaku kekerasan itu jauh lebih fluktuatif dibandingkan dengan dinamika konseling umum, sehingga persiapan dan kapasitas konselor perlu terus ditingkatkan.

Masih banyak rincian pelatihan yang dipelajari dalam konseling ini, yang tidak dapat dijabarkan satu persatu dalam kesempatan ini. Yang jelas, di akhir sesi konseling, seluruh peserta, termasuk Juneman, secara sukarela menandatangani Deklarasi Kepatuhan Pada Prinsip Kesetaraan dan Hubungan Tanpa Kekerasan. Inti dari deklarasi ini adalah pernyataan untuk mempromosikan nilai-nilai keterbukaan, tanpa kekerasan, dan masyarakat demokratis, yang didasarkan pada martabat manusia, pencapaian kesetaraan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia dan kebebasan.

 

Pelatihan yang diikuti merupakan kerjasama antara RutgersWPF dengan Yayasan PULIH
Pelatihan yang diikuti merupakan kerjasama antara RutgersWPF dengan Yayasan PULIH

 

Partisipasi dalam kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS University tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam pelatihan ini diwujudkan dengan komitmen memfasilitasi perubahan perilaku laki-laki pelaku kekerasan dalam rangka menyejahterakan masyarakat.

 

Partisipasi ini juga merupakan salah satu rangkaian dari Kegiatan Akademik Jurusan Psikologi BINUS University, yakni Kuliah-kuliah Tamu sebagai bagian dari Program Global Learning System (GLS) Mata Kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi hasil kerjasama antara Jurusan Psikologi dan Yayasan PULIH pada tanggal 10 Oktober 2014 (narasumber: Dr. Rocky Gerung – “Mereview konstruksi sosial yang dilekatkan pada laki-laki“), 24 Oktober 2014 (narasumber: Eko Bambang Subiantoro – “Mengajak laki-laki untuk terlibat pada isu stop kekerasan terhadap perempuan”), 1 November 2014 (narasumber: Dr. Nur Imam Subono – “Melibatkan laki-laki dalam mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan”) dan 8 November 2014 (Irma S Martam – “Social Marketing”), serta Seminar Gender in Justice yang diadakan oleh Mahasiswa Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64) pada 17 Januari 2015. (JA)

Mahasiswa Psikologi BINUS Melawan Ketidakadilan Jender dengan Seminar Gender in Justice

Pada 17 Januari 2015, Kelas Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi (LA64), Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., menyelenggarakan Seminar Gender in Justice, sebagai final project dari mata kuliah ini. Audiens dari kegiatan ini adalah mahasiswa-mahasiswi di lingkungan Universitas Bina Nusantara, lebih khusus lagi dari Jurusan non-Psikologi. Seminar ini diselenggarakan di Kampus BINUS Anggrek, Exhibition Hall, Lantai 3, mulai pukul 12:30-16:30 WIB.

Latar belakang seminar ini adalah sebagai berikut: Kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan merupakan fenomena yang telah merajalela di dalam masyarakat. Namun jumlah kasus yang diketahui dan tidak diketahui berbanding sangat besar. Kasus kekerasan ini termasuk dalam fenomena gunung es (iceberg). Konsep ini menyatakan bahwa kasus kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan sebenarnya sangat banyak terjadi, namun yang ditemukan atau dilaporkan hanya sedikit. Hal ini bisa terjadi karena adanya pandangan masyarakat yang menganggap kejadian di dalam keluarga merupakan privasi dan masyarakat tidak berhak ikut campur tangan. Ada juga pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa apabila perempuan menerima perlakuan kasar dalam hubungan suami-istri, itu merupakan hal yang wajar dan merupakan kesalahan perempuan dan perempuan memang berhak menerima itu.

 

Namun, apakah perlakuan kekerasan terhadap perempuan merupakan hal yang biologis dan kodrati? Apakah merupakan hal yang secara genetis dan ekologis diberikan kepada kaum? Apakah perempuan memang kodratnya untuk menerima semua kekerasan itu? Tentu saja tidak! Semua pandangan yang mendukung dominasi dan ‘hak’ untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah konstruksi. Menurut Malamuth, konstruksi yang menginisiasi pandangan dan pemikiran tersebut merupakan konstruksi kultural yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri yang mempengaruhi pemikiran dan pandangan anggota masyarakat secara umum, Konstruksi kultural ini mendukung dan mendorong tumbuhnya agresivitas dan memandang penggunaan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri, dan bahwa perempuan harus menerima itu.

Melihat masalah tersebut, sebagai final project dari mata kuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi, mahasiswa kelas LA64 jurusan Psikologi BINUS University mengadakan sebuah program intervensi terhadap mahasiswa dan mahasiswi BINUS University dengan tema ‘Gender in Justice‘, yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dan mahasiswi BINUS University terhadap ketidakadilan jender yang ada di dalam masyarakat, serta ingin terlibat dalam pemberian intervensi terhadap masalah yang sebenarnya merupakan kesalahan persepsi yang dibentuk oleh konstruksi sosial.

Tujuan seminar ini adalah: (1) Mengaplikasikan program intervensi sebagai final project mata kuliah Psikologi Intervensi dan Psikologi Sosial, (2) Meningkatkan kesadaran mahasiswa dan mahasiswi BINUS University terhadap adanya ketidakadilan jender di dalam masyarakat, (3) Meningkatkan keterlibatan mahasiswa dan mahasiswi BINUS University untuk melakukan intervensi terhadap ketidakadilan jender di dalam masyarakat. Mahasiswa dan mahasiswi diajak untuk terlibat dalam penegakan keadilan, dan perlawanan terhadap pembenaran persepsi mengenai jender yang merugikan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial selama berabad-abad. Seminar ini diharapkan bukan saja dapat membuka persepsi baru mengenai posisi dan situasi kaum perempuan di masyarakat yang bersistem patriarkis pada umumnya, tetapi juga mengajak kaum pria untuk lebih aktif lagi peduli dalam permasalahan ini.

Seminar ini menghadirkan pembicara Norcahyo Budi Waskito, S.Psi., M.Si. dari Yayasan PULIH. Beliau merupakan alumnus program S1 dan S2 Psikologi, Universitas Indonesia,, dan Koordinator Program MenCare di Yayasan PULIH, dengan aktivitas utama: “Engaging men to stop violence against women and children collaborating with some universities (for media campaign, lecturer, youth group education), media (for media campaign), health institution (for parenting class)”. Beliau memiliki pengalaman sebagai konsultan di Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI (Psychosocial Practitioner Course Curriculum and Module Development), di American RedCross (Material Development – Psychological first aid/PFA, Self Care, Domectic Violence, Reproductive Health, Separated Children etc), dan di MPBI (Masyarakat Penanggulangan Indonesia). Ia pernah menjadi trainer dan researcher dengan topik-topik Psychosocial and PFA in Emergency, Crisis Intervention, Psychosocial Group Structured Activity for Child Refugee, Community based Psychosocial Recovery for Women, dan Children Psychosocial Well-being.

Kegiatan Seminar Gender in Justice diawali dengan pemutaran video pendek yang telah dibuat oleh Kelas LA64.

 

Pemutaran video
Pemutaran video

 

Setelah pemutaran video, Seminar dibuka secara resmi oleh Juneman Abraham, S.Psi., M.Si., selaku Dosen Koordinator (SCC) Psikologi Komunitas Jurusan Psikologi BINUS University.

 

Sambutan oleh SCC Community Psychology
Sambutan oleh SCC Community Psychology

 

Setelah pembukaan acara, Wakil Ketua Panitia, Nurlailad Baderiyah, memberikan kata sambutan.

Sambutan oleh Wakil Ketua Panitia

Acara ini dipandu oleh MC, Chika Andina dan Mazaya Dwina, dan moderator Marcellino Yohanes.

MC memberikan keterangan acara
MC memberikan keterangan acara

 

 

Narasumber, Norcahyo Budi Waskito, memberikan paparan di hadapan para peserta
Narasumber, Norcahyo Budi Waskito, memberikan paparan di hadapan para peserta

 

 

Moderator, Marcellino Yohanes, memandu diskusi dan memberikan kesimpulan
Moderator, Marcellino Yohanes, memandu diskusi dan memberikan kesimpulan

 

Dalam paparannya, narasumber, Mas Cahyo (panggilan akrab Norcahyo) menyampaikan poin-poin sebagai berikut:

  • Kekerasan terhadap Perempuan (KtP) merupakan “Segala tindakan kekerasan berbasis gender memberikan dampak melukai secara fisik, seksual atau mental atau menimbulkan penderitaan pada perempuan, termasuk didalamnya tindakan mengancam, memaksa maupun merampas kebebasan; baik yang dilakukan dalam ruang publik maupun personal/ privat” (definisi PBB).
  • WHO (Fact sheet No: 239) per Oktober 2013 menunjukkan bahwa: (a) 1 dari 3 perempuan dunia (35%) pernah mengalami kekerasan dari pasangan maupun kekerasan seksual yang dilakukan bukan oleh pasangannya; (b) 1 dari 3 perempuan yang punya pasangan (30%) pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual dari pasangannya.
  • Catahu Komnas Perempuan 2013 menyatakan bahwa telah terjadi: (a) 279.760 kasus KtP di seluruh Indonesia; (b) 2.881 kasus KtP di DKI Jakarta; (c) 270.833 kasus kekerasan terhadap istri; (d) 2.507 kasus kekerasan dalam pacaran.
  • Penelitian Partner for Prevention (P4P, UN) tahun 2013 di 6 Negara di Asia Pasifik       terhadap 10.178 laki-laki dan 3.106 perempuan usia 18-49 tahun: (a) 26 – 80 % laki-laki pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual pada pasangannya; (b) 10-62 persen pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan.
  • Penelitian P4P tahun 2013 di Indonesia terhadap 2.577 laki-laki usia 18-49 tahun di 3 wilayah (Jakarta, Purworejo, Jayapura): (a) 25-60 % di Indonesia pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual pada pasangannya, (b) 17-43 % pernah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan.
  • Faktanya adalah: Pelaku kekerasan terhadap Perempuan adalah LAKI-LAKI. Meski tidak semua laki-laki pelaku kekerasan, bahkan umumnya mereka tidak mendukung kekerasan terhadap perempuan.
  • Kekerasan terhadap Perempuan bisa menimpa siapa saja termasuk perempuan-perempuan yang dekat dengan kita, seperti ibu, adik, kakak, anak, pacar, istri dll
  • Dampak Kekerasan terhadap Perempuan tidak hanya pada penyintas namun juga berimbas pada lingkungan sekitar (termasuk laki-laki yang berada di lingkungan terdekat dengan penyintas).
  • Laki-laki secara umum harus ikut bertanggungjawab karena (a) sebagian besar pelaku KtP adalah laki-laki, (b) perilaku kekerasan identik dengan laki-laki, (c) jumlah penghuni tahanan sebagian besar laki-laki.
  • Pada umumnya laki-laki bisa memahami dan memiliki pengetahuan yang lebih baik terhadap sikap, tingkah laku dan persepsi mereka sendiri.
  • Laki-laki dewasa biasanya menjadi model atau taudalan bagi anak laki-laki yang lebih muda dan masih bocah.
  • Peran strategis laki-laki untuk melakukan perubahan (posisi laki-laki dalam budaya patriarki, pengambilan keputusan/kebijakan masih didominasi oleh laki-laki).
  • 7P Kekerasan Laki-Laki (Kauffman, Michael. 1999. The 7 P’s of Men’s Violence): (1) Kekuasaan Patriarki, (2) Privilege, (3) Permission, (4) Paradoks Kekuasaan laki-laki, (5) Psychic Armor of Manhood, (6) Psychic Pressure Cooker, dan (7) Pengalaman Masa Lalu.
  • Budaya Patriarki (patri-arkat): Budaya yang dibangun dalam di atas dasar struktur dominasi dan sub ordinasi (hirarki) dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Peran laki-laki sebagai penguasa, sentral. Sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (menggunakan kekerasan sebagai alat mendominasi).
  • Bentuk kekerasan yang dilakukan laki-laki bukan sekedar untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap orang lain tapi juga ditimbulkan oleh perasaan atau pemahaman bahwa ia (sebagai laki-laki) memiliki hak-hak istimewa tertentu dalam hidupnya.
  • Kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki tidak akan berlanjut bila tidak ada “reward” dari lingkungan (orang lain) dalam bentuk bentuk pembiaran (sikap persetujuan secara tidak langsung) dari norma sosial, penegakan hukum dan bahkan pendidikan agama.
  • Cara laki-laki mengkonstruksi kekuasaan individual dan sosialnya ternyata secara paradoks merupakan sumber ketakutan, terisolasi, rasa tidak percaya diri, dan kesakitan bagi laki-laki itu sendiri.
  • Karakter kelaki-lakian dibentuk dari pengalaman masa kecil yang sering diwarnai dengan ketidakhadiran ayah/ laki-laki dewasa, kehadiran figur yang meneladani perilaku yang tidak positif atau yang berjarak secara emosional dengan anak (karakter kelaki-lakian yang muncul seperti “tameng” ego yang kaku).
  • Konsep maskulinitas untuk kuat, tegar, tidak cengeng dsb membuat laki-laki menekan ekspresi perasaan untuk memenuhi konsep tersebut (tuntutan maskulinitas). Pola represi ini tetap harus tersalurkan, maka muncul dalam bentuk kekerasan.
  • Laki-laki yang mengalami atau hidup dalam lingkungan yang penuh kekerasan cenderung berpeluang lebih besar untuk memunculkan perilaku kekerasan (mempelajari bahwa cara-cara kekerasan merupakan coping strategy, upaya mendapatkan perhatian, strategi mengelola emosi).

Lebih lanjut, Mas Cahyo menjelaskan tentang “The Triad of Men’s Violence” (Tritunggal Kekerasan Laki-laki), Mitos Laki-Laki & Maskulinitas, Citra Laki-Laki yang Dipromosikan, serta Model Integratif Maskulinitas dan Bagaimana Cara Laki-Laki Melibatkan Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan.

Citra laki-laki yang seharusnya dipromosikan (Michael Flood, 1998): (1) Male-positive, keyakinan laki-laki bahwa mereka bisa berubah, dan juga memberikan dukungan setiap upaya laki-laki untuk melakukan perubahan, (2) Nilai pro-feminist, yakni laki-laki yang memiliki tekad (committed) untuk selalu melawan penindasan terhadap perempuan, seksisme, dan ketidakadilan gender, (3) Marginalized-affirmative. Laki-laki selalu mempunyai tekad untuk menentang segala bentuk prasangka terhadap kalangan marjinal atau minoritas baik karena orientasi seksual, ras dan etnis, maupun transeksual, (4) Memberi ruang pada aktualisasi perempuan, dan (5) Berani mendobrak mitos.

Bagaimana Cara Laki-Laki Melibatkan Menghentikan Kekerasan terhadap Perempuan? (1) Berpikir terbuka terhadap isu KtP dan pelibatan laki-laki sebagai mitra untuk menghentikannya, (2) Carilah informasi tentang KtP dan pahami isu ini dengan sebaik-baiknya, (3) Terlibat dalam gerakan yang menghentikan KtP (menghentikan bila melihat, melaporkan pada pihak berwenang, membuat gerakan menghentikan KtP, menggalang dana, membagi informasi dan kegiatan kontribusi pikiran, tenaga dan dana lainnya), (4) Jadi teladan/ role model bagi laki-laki lain (teman sebaya, kakak kelas, adik kelas, teman di lingkungan) untuk berani berubah menanggalkan citra laki-laki ideal lama dan lebih menghargai perempuan, (5) Proaktif menghentikan KtP di rumah, sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, dan (6) Ajak teman sebaya atau orang lain untuk melakukan perubahan dan terlibat dalam upaya penghentian KtP.

Persembahan musik di awal dan akhir acara
Persembahan musik di awal dan akhir acara

 

Suasana seminar di Exhibition Hall Kampus Anggrek
Suasana seminar di Exhibition Hall Kampus Anggrek

 

Program intervensi berupa seminar ini dilakukan bersamaan dengan penggunaan media-media berupa internet dan media sosial (Blogspot, Twitter, Instagram), media cetak (banner, stiker, poster, dan self-help book), aksesoris (pin), media elektronik (B-Voice Radio), dan Mini Counseling.

 

Sampul Self-help Book yang disusun oleh Mahasiswa LA64

 

Annisa Chika dan Tommy Prayoga memberikan penjelasan tentang penggunaan Self-help Book
Annisa Chika dan Tommy Prayoga memberikan penjelasan tentang penggunaan Self-help Book

 

Peserta seminar ini juga diminta untuk mengisi kuesioner sebagai sarana untuk mengetahui efektivitas seminar dan kanal intervensi lainnya.

 

Peserta seminar mengisi kuesioner. Kuesioner diberikan dua kali, pada saat awal (pre) dan akhir (post) seminar
Peserta seminar mengisi kuesioner. Kuesioner diberikan dua kali, pada saat awal (pre) dan akhir (post) seminar

 

Suasana tanya-jawab peserta dengan narasumber
Suasana tanya-jawab peserta dengan narasumber
Panitia acara melakukan persiapan behind the stage sesaat sebelum seminar dimulai
Panitia acara melakukan persiapan behind the stage sesaat sebelum seminar dimulai

 

 

Di akhir acara seminar ini, Juneman Abraham menyerahkan Sertifikat tanda terima kasih kepada Mas Cahyo selaku narasumber, dan Mas Cahyo memberikan sejumlah kenang-kenangan berupa buku-buku, pin, dan kaos dari Yayasan Pulih/MenCare Program (Laki-laki Peduli) kepada para penanya.

Panitia seminar ini masih akan berhubungan dengan peserta seminar yang membutuhkan mini counseling.

Kegiatan final project matakuliah Psikologi Sosial dan Intervensi Psikologi Kelas LA64 ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa BINUS UNIVERSITY tidak hanya akan mencapai visinya menjadi World Class University, namun juga betul-betul memberikan kontribusi yang dapat dirasakan manfaatnya, baik secara nasional maupun global, yang dalam seminar ini diwujudkan dengan melawan ketidakadilan jender dalam rangka menyejahterakan masyarakat, dimulai dari lingkungan BINUS University.

Dosen Psikologi BINUS Menghadiri Konferensi Anti-Korupsi

Pada 20 November 2014, dosen Jurusan Psikologi, BINUS University, Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. ikut hadir sebagai peserta dalam sebuah konferensi internasional bertajuk “The Role of Shame-based and Guilt-based Culture for Education: A Way to No-Corruption Society” yang diselenggarakan di Auditorium Pusat Studi Jepang, Universitas Indonesia.

Konferensi ini merupakan buah kerjasama Konsorsium yang terdiri atas Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (PSJ UI), Universitas Padjadjaran, dan Universitas Al Azhar Indonesia, dan didukung oleh Ditjen DIKTI Kemdikbud RI.

Konferensi menghadirkan Pembicara: (1) Robertus Robet (Pakar Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta), yang membahas topik “The Analysis of Indonesian Education System: No-Corruption Curriculum”, (2) Saito Minoru (Kepala Sekolah Jakarta Japanese School)   yang membahas topik “Haji no Bunka Shame and Tsumi no Bunka Guilt in Japanese Education System”, serta (3) Adnan Pandu Praja (Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) yang membahas topik “National Character Building for No-Corruption Society”.

Di samping pemaparan topik-topik tersebut oleh para pembicara, konferensi ini juga menghadirkan pemaparan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para mahasiswa dari universitas-universitas anggota Konsorsium.

Juneman sendiri hadir atas informasi tentang agenda kegiatan ini dari Ketua Jurusan Psikologi BINUS University, Raymond Godwin, S.Psi., M.Si. melalui media sosial. Memang, seminar ini sangat relevan untuk dihadiri, karena Juneman melakukan penelitian yang mengangkat gejala tentang korupsi, yang dibahas dari perspektif psikologis. Di samping itu, ia juga sedang menyelenggarakan payung penelitian di Jurusan Psikologi BINUS University yang berkenaan dengan rasa malu dan rasa bersalah. Sudah terdapat sejumlah skripsi Sarjana Psikologi BINUS yang dihasilkan dari payung penelitiannya tersebut.

Dalam kesempatan konferensi tersebut, Juneman sempat mengajukan pertanyaan untuk didiskusikan mengenai peran ilmu-ilmu sosial dalam pemahaman, pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Sejalan dengan penelitian yang sedang ditekuninya, pada 2015 ini Juneman juga memperoleh Hibah Bersaing DIKTI untuk riset dengan topik korupsi.

 

Berikut ini adalah beberapa gambar terkait dengan kegiatan konferensi ini.

 

Juneman Abraham sedang mengajukan pertanyaan (sumber: dokumentasi PSJ UI)
Juneman Abraham sedang mengajukan pertanyaan (sumber: dokumentasi PSJ UI)

 

Paparan Robertus Robet
Paparan Robertus Robet

 

Paparan Saito Minoru (sumber: dokumentasi PSJ UI)
Paparan Saito Minoru (sumber: dokumentasi PSJ UI)

Humaniora BINUS Untuk Nusantara

Pada 22 Oktober 2014, dalam rangkaian The Grand Launching of BINUS University di Alam Sutera, Fakultas Humaniora menyelenggarakan Talkshow HUMANIORA bertajuk “HUMANIORA BINUS UNTUK NUSANTARA: Menanamkan Nilai-nilai Humaniora Untuk Pembangunan Bangsa Indonesia“. Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah BINUS University, para ahli dari masing-masing jurusan di lingkungan Fakultas Humaniora duduk bersama dalam satu meja untuk menyampaikan gagasannya, dengan audiens para dosen dan mahasiswa FHum.

 

Para ahli tersebut dengan topik yang dibawakannya adalah:

  1. Tirta Nugraha Mursitama, S.Sos., M.M., Ph.D. (Head of International Relation Department): “Indonesia in Geopolitics
  2. Abdullah Dahana, Ph.D. (Lecturer Specialist, Chinese Department): “Learn from China” (Belajar Dari Tiongkok)
  3. Dr. Sheddy Nagara Tjandra, M.A. (Lecturer Specialist, Japanese Department): “Learn from Japan
  4. Besar, S.H., M.H. (Business Law Department): “Intellectual Property Rights (IPR)
  5. Wishnoebroto, S.Pd., M.Hum., M.A. (English Department): “Westernized Asia
  6. Johannes A. A. Rumeser, M.Psi. (Psychology Department): “Leadership in Organization
  7. Jimmy Sapoetra, S.S., M.Pd. (Pendidikan Guru Sekolah Dasar Department): “Humaniora dan Visi Perguruan Tinggi

 

Liputan oleh: Juneman Abraham

 

Acara ini diawali dengan doa yang dipimpin oleh Paulus A. F. Dwi Santo, S.H., M.H. (Deputy Head of Department, Business Law). Selanjutnya acara ini dipandu oleh MC Rudi Hartono Manurung, S.S. (Deputy Head of Japanese Department) dan Irfan Rifai, S.Pd., M.Ed. (Deputy Head of English Department).

 

Pembacaan doa
Pembacaan doa

 

Sambutan diberikan oleh Dr. Johannes A. A. Rumeser, M.Psi. (Dean of Faculty of Humanities). Beliau berpesan agar seluruh audiens menyimak pembicaraan yang akan berlangsung dari multi-jurusan walaupun terdengar ‘asing’ bagi bidang ilmunya sendiri. “Apa permasalahan yang dikemukakan dan apa yang bisa kembangkan lebih jauh bersama-sama?”

Sambutan oleh Dekan Fakultas Humaniora
Sambutan oleh Dekan Fakultas Humaniora

 

Setelah sambutan, sebelum masuk ke dalam paparan pembicara ahli, acara diselingi dengan hiburan berupa 2 lagu dari mahasiswa Psychology Department.

Selingan musik oleh mahasiswa Jurusan Psikologi
Selingan musik oleh mahasiswa Jurusan Psikologi

 

Talkshow ini dimoderatori oleh Almodad Biduk Asmani, S.S., M.Ed. (Language Center). Moderator menyampaikan sejumlah hal sebagai pendahuluan acara, yakni (1) Pembicaraan akan dilangsungkan dalam konteks global, dalam hal ini Asia, di mana Indonesia berada sebagai bagiannya; (2) Isi pembicaraan akan berhubungan dengan mindset Glocal‘ (think globally, act locally), (3) Perlu diingat kekuatan Asia: Bangsa Asia menguasai 20% tanah dunia; setengah jumlah penduduk dunia ada di Asia; 49 negara Asia memiliki filosofi ekonomi yang berbeda-beda namun menghasilkan 27% global output.

Moderator in action
Moderator in action

 

Indonesia in Geopolitics”

Pembicara pertama, Bapak Tirta, pertama-tama menyampaikan Geopolitik sebagai cabang dari ilmu Geografi namun melihat posisi suatu negara dalam konteks hubungan dengan negara-negara lain. Salah satu gejala geopolitik di Indonesia adalah bahwa dalam pelantikan Presiden Joko Widodo, tamu-tamu dari negara-negara lain hadir. Artinya, Indonesia menjadi sebuah negara yang sangat penting. John Kerry yang datang dalam pelantikan Jokowi menandakan bahwa Amerika Serikat sangat peduli dengan perkembangan Indonesia. Indonesia berada di posisi strategis sebagai poros maritim dunia, diapit dua lautan. Semua pertumbuhan ekonomi tidak lagi didasarkan pada persoalan-persoalan yang terkait dengan daratan (atau bias daratan). Oleh karena itu, jalur-jalur laut dibuka, dilakukan revitalisasi pelabuhan. Secara domestik, budaya nenek moyang bangsa Indonesia adalah budaya maritim. Kita ingat “Jalesveva Jayamahe” (Di Laut Kita Jaya). Bukan berarti kita meninggalkan daratan, namun bagaimana kita memberikan perhatian lebih kepada persoalan-persoalan yang terkait dengan kemaritiman. Gagasan Jokowi “Poros maritim dunia”, walau sebagai Presiden dari sebuah negara yang tidak memiliki kekuatan fisik/tempur yang sangat hebat, sudah berhasil memenangkan wacana dalam Hubungan Internasional, serta menarik perhatian dan partisipasi dari seluruh pemimpin dunia. Secara internasional, kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya dari berbagai negara sahabat mengitari Indonesia dengan berbagai agendanya.

 

Paparan oleh Bapak Tirta
Paparan oleh Bapak Tirta

 

“Learn from China

Pembicara kedua, Bapak Dahana, menyampaikan bahwa dalam waktu sangat singkat Tiongkok telah melompat dari dunia ketiga menjadi sebuah negara adikuasa. Ukurannya adalah pertumbuhan ekonomi di atas 7% tahun dalam waktu 30 tahun terakhir. Timbullah suatu diskusi dalam dunia internasional mengenai “The Raise of China“: Tiongkok akan menjadi sesuatu yang menakutkan dunia. Di kalangan pemimpin Tiongkok sendiri timbul perdebatan. Dengan meningkatnya posisi Tiongkok sebagai salah satu negara adikuasa kedua, apa yang akan mereka lakukan? Muncul wacana bahwa bangkitnya Tiongkok itu adalah demi perkembangan ekonomi dan kemajuan rakyatnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu dunia yang penuh perdamaian (peaceful). Pada 1990 Uni Sovyet bangkrut. Terbit sebuah buku Francis Fukuyama, yang mengatakan bahwa dengan bubarnya Uni Sovyet, maka yang menang dalam persaingan antara kapitalisme dan sosialisme adalah kapitalisme & demokrasi liberal (petunjuk tentang berakhirnya pencarian umat manusia atas sistem politik dan masyarakat).

 

Namun demikian, yang terjadi di Tiongkok justru berlawanan dengan yang dikatakan Fukuyama. Di Tiongkok, dua hal yang tadinya berlawanan (kapitalisme dan otoritarianisme) dapat hidup berdampingan secara damai. Yang menjadi rahasia dari sukses Tiongkok: (1) Partai Komunis Tiongkok sebagai kekuatan perubahan yang utama, (2) Partai komunis Tiongkok adalah organisasi politik yang fleksibel (ketika Deng Xiaoping mengubah arah pemerintahan dari ‘Politik sebagai panglima’ yang dikomandoi Mao Tse-tung menjadi ‘Ekonomi sebagai panglima’, dengan mudah partai komunis bisa berubah ketika itu). Rakyat sudah lelah dengan rangkaian kampanye politik yang dilancarkan Mao dari 1955-1976. RRT, pasca perang dingin dan berkembangnya globalisasi, bekerjasama dengan organisasi-organisasi internasional yang dulu dicap sebagai agen liberalisme dan kapitalisme, serta bekerjasama secara ekonomi dengan semua negara tanpa melihat ideologi negara tersebut. Dulu negara-negara takut dengan komunisme RRT, sekarang takut dengan serbuan barang-barang dan kapitalisme RRT.

Di Indonesia, Model Pembangunan Tiongkok diperkenalkan oleh almarhum Ignatius Wibowo dalam bukunya “Belajar dari China”. Menurut Wibowo, ada 4 perubahan signifikan Tiongkok yang harus dipelajari oleh Indonesia: (1) Ekonomi (pertumbuhan di atas 7% per tahun), (2) Politik (kinerja partai komunis sangat baik, tidak memerintah ‘semau gue‘, (3) Ideologi (menggabungkan 2 sistem yang dulu kontradiktif: kapitalisme dan otoritarianisme), (4) Menggunakan peluang di tengah proses globalisasi (kerjasama dengan organisasi-organisasi yang dulu dianggap agen kapitalis).

Bapak Dahana berkeyakinan bahwa Model Pembangunan Tiongkok ini bisa ditiru, namun sulit! Mengapa? Sebab dibandingkan dengan Indonesia: Penduduk Tiongkok boleh dikatakan homogen. Sebanyak 93% suku bangsa Han, hanya 7% yang minoritas. Hal ini memungkinkan Pemerintah menjalankan kebijakan dengan sangat leluasa. Posisi Partai Komunis yang sangat pokok; tidak ada kekuatan politik yang dapat menjadi pesaingnya. Yang terjadi di Tiongkok adalah Kapitalisme Negara di mana perkembangan ekonomi dimotori oleh BUMN. Pemerintah dan Partai sangat identik. Kemajuan yang didapat oleh RRT sebenarnya adalah ‘dendam sejarah’, dalam mana selama satu abad (1850-1949), Tiongkok selalu menjadi tanah jajahan yang dihina bangsa-bangsa Barat dan Jepang. Reformasi ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Tiongkok. Sejak akhir abad ke-19, di kalangan elit Tiongkok selalu terjadi perdebatan tentang bagaimana Tiongkok menjadi jaya, kaya dan kuat.

Paparan oleh Bapak Dahana

 

“Learn from Japan

Bapak Tjandra menyampaikan bahwa Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, pernah menyampaikan “Look to the East!“. Timur (East) di sini tidak termasuk China, namun semata-mata Jepang. Mahathir mengakui kebesaran Jepang. Malaysia mengirim mahasiswa cukup banyak ke Jepang.

Nilai budaya yang bisa dipelajari dari Jepang: Budaya membaca, belajar, dan meneliti. Sejak akhir zaman Samurai (abad 17/18), orang Jepang sudah kecanduan membaca. Dalam sejarah, orang Jepang juga belajar kepada orang-orang Barat (Belanda, dsb). Budaya meneliti ditandai dengan munculnya kelompok cendikiawan yang menciptakan “Ilmu Negara Jepang” dan “Ilmu Bahasa Jepang”. Hasil penelitian dimanfaatkan untuk kehidupan dan dilestarikan melalui ilmu pengetahuan. Metodologi penelitian tradisional Jepang sangat khas, yang lepas dari pengaruh Barat, yaitu metodologi penelitian yang “tanpa teori” namun berakar dari data (membesarkan data!) dan referensi. Amerika lebih mementingkan teori terlebih dahulu. Sarjana Jepang ada yang memperoleh Hadiah Nobel, yang berarti tingkat pengetahuannya tidak kalah dari Amerika dan Eropa.

Nilai budaya disiplin sosial & umum: Masyarakat Jepang memiliki tenggang rasa yang tinggi. Dari sini lahir disiplin sosial yang sangat tinggi, seperti (a) mengantri di supermarket, (b) para supir jarang sekali memencet klakson, dsb.

Nilai budaya politik: Budaya malu di birokrasi dan kaum eksekutif Jepang sudah sangat populer. Secara historis, Pemerintahan Samurai menjalankan semangat seorang Ksatria. Malu jika berbuat salah. Akibat berbuat salah yang besar, orang mengalami harakiri (bunuh diri sendiri), yang bentuknya saat ini: gantung diri, mengundurkan diri dari jabatan.

 

Paparan oleh Bapak Tjandra
Paparan oleh Bapak Tjandra

 

“Intellectual Property Rights (IPR)”

Bapak Besar menyampaikan gejala bahwa di Indonesia masih sangat tinggi terjadi pembajakan, dari negara agraris menuju ke negara industri. Ada bidang-bidang IPR (Intellectual Property Rights)/HKI (Hak Kekayaan Intelektual): HKI yang kepemilikannya komunal (pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, indikasi geografis), HKI yang kepemilikannya perorangan (hak cipta – di Indonesia UU 19/2002); Indonesia adalah negara pelanggar hak cipta yang terbesar. Hak milik industri: paten, merk, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak, sirkuit terpadu, dan varietas tanaman.

Manfaat HKI: Sebagai aset yang tidak ternilai, sebagai pendukung peningkatan usaha, sebagai pencegah persaingan usaha tidak sehat, sebagai peningkat daya saing perusahaan, sebagai pemacu kreasi dan inovasi, sebagai pembentuk image, sebagai sumber keuangan. Kalau ingin menciptakan kreativitas dari produk yang sudah ada, seseorang harus meminta izin terlebih dahulu dari si pencipta pertama.

Secara ekonomi, HKI tidak mengalami penyusutan. Semakin digunakan, nilainya semakin meningkat. Semakin banyak hak cipta dan paten yang terdaftar, semakin bertambahlah nilai sebuah bangsa.

 

Paparan oleh Bapak Besar
Paparan oleh Bapak Besar

 

Acara kemudian diselingi dengan musik tradisional Jepang oleh mahasiswa Japanese Department.

Selingan musik dari mahasiswa Jurusan Sastra Jepang

 

“Westernized Asia

Bapak Wishnoe mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa, apakah lebih kenal budaya asing (Disney, dsb) atau budaya Indonesia (cerita rakyat, dsb)? Apakah kemampuan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia yang lebih bagus? Edward Said membuat teori bahwa dunia terbelah menjadi dua: Oksiden dan Orient. Oksiden berarti mereka yang dominan (Barat); Orient (Timur). Oksiden yang bagus (civilized), Orient. “Siapa yang mengatakan di kepala Anda bahwa putih lebih baik (contoh krim pemutih)?” Rambut lurus, mata biru, lebih cantik? Operasi plastik, Hollywood movies? Melalui media? Starb***s atau kopi di warung? “Your are being colonized by the West, in culture”, Banyak hal positif, local wisdom di Indonesia yang justru tertutupi oleh budaya Barat (contoh: sungkan di budaya Jawa, hormat kepada orangtua, dsb). Boleh juga belajar dari budaya Barat, namun banyak juga budaya di negeri kita yang lebih baik dari budaya Barat.

Paparan oleh Bapak Wishnoe

 

“Leadership in Organization”

Bapak Jo memulai dengan pertanyaan, “Mengapa organisasi bisa tumbuh, berkembang, dan langgeng?” Banyak penelitian yang dilakukan, namun akhirnya bertumpu pada 2 hal. Pertama adalah Kepemimpinan (Leadership). Organisasi yang besar selalu punya leader yang baik, dan itu yang selalu diceritakan berulang-ulang. Sebagai contoh, Jack Welch, CEO General Electric; apa yang diomongkannya sampai dianut sebagai benar. Kedua adalah Teamwork (tidak mungkin bekerja sendiri).

Kepemimpinan itu sulit sekali didefinisikan, karena menyangkut tiga titik: (1) Follower (pengikut), (2) Situasi, (3) Pemimpin. Pemimpin yang hebat dari sebuah organisasi bila masuk ke organisasi yang berbeda bisa jatuh. Sebaliknya, bukan pemimpin yang hebat, namun saat ia masuk, situasinya membutuhkan orang sepertinya.

Situasi saat ini di Indonesia, orang sudah ‘benci’ dengan ‘pencitraan’; sehingga mencari orang yang tulus, lugu, dan bisa dipercaya. Semua orang mendukung pemimpin yang baru itu, sampai mengadakan syukuran rakyat saat Presiden dilantik.

Penelitian Pak Jo menunjukkan ada 4 ciri pemimpin yang baik. Pertama, mengorangkan orang (me-‘wongke‘), sebagai sesama. Kedua, mampu menciptakan atmosfer di mana orang dapat produktif dan mau bekerjasama (tidak dominan). Ketiga, mampu mendelegasikan hal-hal yang bisa dikerjakan bawahannya (tetapi bukan ‘abdicate‘/melepaskan); kalau ada kesalahan, tanggungjawabnya tetap ada di pemimpin. Keempat, secara teratur memberikan umpan balik (Double loop learning: orang belajar dari pengalaman).

Paparan oleh Bapak Jo
Paparan oleh Bapak Jo

 

“Humaniora dan Visi Perguruan Tinggi”

Bapak Jimmy menyampaikan bahwa sejarah telah membuktikan bahwa manusia tidak belajar dari sejarah. Ada 3 pertanyaan yang perlu direnungkan: (1) Jika tujuan pendidikan untuk kesejahteraan umat manusia, mengapa penemuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi cenderung menyengsarakan manusia itu sendiri?, (2) Mengapa terjadi kesenjangan (gap) antara manusia yang berilmu dan manusia yang bermoral?, dan (3) Apakah sumbangsih ilmu-ilmu humaniora dalam menjawab pertanyaan di atas? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pergumulan Pak Jimmy selama 21 tahun menjadi guru, namun belum bisa dijawab dengan tuntas.

Pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia (humanisasi jiwa; hominisasi tubuh; humaniora; mengutip Driyarkara). Tujuan pendidikan UU Tahun 1989: Mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kondisi Saat ini (1) Kita mengalami dehumanisasi pendidikan di segala bidang. Manusia tidak lagi dianggap manusia. Manusia sudah seperti robot (objek bukan subjek ilmu pengetahuan). Pola pendidikan Barat itu baik, tapi bukan yang terbaik; perlu mencari yang cocok untuk Indonesia; (2) Kontrol Pemerintah dalam dunia pendidikan Indonesia terlalu kuat; (3) Kita tidak pernah menyentuh persoalan hakiki dalam pendidikan (filosofis), terlalu pusing berkutat dalam persoalan-persoalan praktis-pragmatis-teknis.

Tujuan pendidikan asalnya adalah Humaniora. Dari anak kecil sampai dewasa ada proses pemanusiaan. Seluruh ilmu pengetahuan, induknya adalah filsafat, berkembang menjadi humaniora, berkembang menjadi ilmu dan teknologi (terapan). Artinya, seharusnya tidak ada dikotomi antara ilmu alam dan ilmu sosial. Di Indonesia, seolah-olah IPA lebih penting (sehingga lebih diutamakan) daripada IPS.

Komitmen pendidikan tinggi seharusnya bukan untuk tujuan praktis-utilitaris. Implikasinya, seharusnya tujuan belajar bukanlah untuk mendapat pekerjaan yang baik, gaji yang tinggi, kedudukan yang baik, atau mencari nafkah. Kalau iya sebenarnya pendidikan sudah bergeser dari tujuan semulanya yang ideal (Mereduksi tujuan belajar). Perguruan Tinggi sebenarnya bertugas untuk mengembangkan ilmu, yaitu pengetahuan yang mendalam berdasarkan kebenaran. Perguruan Tinggi wajib melandasi misinya tersebut dengan nilai-nilai moral. BINUS adalah kampus yang tegas dalam hal kejujuran.

IPTEK dan Humaniora tidak perlu dipertentangkan, walaupun IPTEK merupakan hasil (pragmatis), humaniora mementingkan proses (idealis).

Visi pendidikan adalah humaniora: bagaimana memanusiakan manusia sebagai makhluk Tuhan (imago Dei). Orientasi PT harus kepada ilmu pengetahuan. Mahasiswa dituntut untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dalam kerangka ilmu itu sendiri demi menuju Kemanusiaan yang lebih adil dan beradab. Ini tujuan aslinya pendidikan!

Warga Fakultas Humaniora seharusnya lebih sadar, lebih peka, dan lebih bertanggung jawab dalam melaksanakan hal-hal yang dibahas di atas.

 

Paparan oleh Bapak Jimmy
Paparan oleh Bapak Jimmy

 

Pertanyaan dan pernyataan:

 

Abdul Aziz ‘Comi’ Turhan Kariko, S.S., M.Hum. (dosen English Department): Bagaimana strategi China menggabungkan dua sistem (kapitalisme dan komunisme)? Apakah mungkin di Indonesia bisa menghilangkan stigma negatif terhadap komunisme?

 

Jawaban Prof Dahana:

Reformasi Tiongkok sebenarnya hanya untuk mengekalkan kekuasaan partai komunis sebagai penguasa tunggal: “Menyogok” rakyat dengan ekonomi, sehingga rakyat melupakan politik. Komunisme sekarang sebenarnya sudah mati. Di RRT pun sebenarnya, komunisme hanya “nama” sebagai alat untuk berkuasa, karena dalam praktiknya tidak ada komunisme. Yang terjadi adalah ekonomi kapitalisme: gap antara rakyat kaya dan miskin, antara kota dan desa, antara kerja otak dan kerja fisik, dsb.

Komunisme sebenarnya sudah tidak relevan lagi dengan dunia sekarang ini. “It’s the economy!”

Pertanyaan dari Bapak Comi

 

Penanya kedua (mahasiswa): Apakah ada “Learn from Indonesia“? Karena anak muda biasanya melihat budaya luar lebih baik dari budaya sendiri.

 

Jawaban Prof Tjandra:

Orang Jepang hanya 2 kali belajar dari orang asing. Pertama, orang Jepang belajar dari orang-orang Tionghoa, abad ke-4, 5, 6. Pada waktu itu bangsa Tionghoa memiliki kebudayaan yang jauh lebih tinggi daripada orang Jepang. Belajar bagaimana mengelola negara, masyarakat, dari negeri Tiongkok. Bangsa Tionghoa memiliki kompetensi yang dianggap lebih tinggi.

Kedua, pada Restorasi Meiji (abad 19), orang Jepang belajar dari orang-orang Barat, termasuk Amerika, yang berkulit putih, mata biru (yang kita sebut ‘bule’). Pada waktu itu, Jepang menganggap mereka memiliki kompetensi dan kebudayaan lebih tinggi, untuk mencari kekayaan dan kekuatan. Westernisasi yang dijalankan oleh Pemerintah Jepang sukses. Jepang menjadi negara yang modern, maju, dan kuat, meskipun geografisnya kecil.

Kesimpulan: Bangsa Jepang hanya mau belajar dari orang asing kalau orang asing itu lebih pintar dan lebih kuat darinya. “Learn from Indonesia” oleh orang Jepang baru bisa terjadi kalau Indonesia tumbuh menjadi bangsa besar, punya kekuatan ekonomi dan kekuatan militer yang disegani.

 

Pertanyaan dari seorang mahasiswa
Pertanyaan dari seorang mahasiswa

 

Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. (dosen Psychology Department) memberikan pertanyaan “Bagaimana Fakultas Humaniora bisa menjadi player dalam pembangunan bangsa?” Kalau Humaniora dipandang sebagai sebuah keluarga ilmu-ilmu, maka ilmu-ilmu di dalamnya harus saling mengenal. Ibarat sebuah keluarga, kakak harus saling mengenal dengan adiknya, ayah harus saling mengenal dengan anaknya. Juneman mengharapkan bahwa talk show Humaniora ini menjadi tradisi yang terus dilanjutkan, tetapi tidak lagi para pembicara berbicara dari bidang ilmunya sendiri-sendiri secara Multi-disiplin, melainkan Inter-disiplin. Yang dibayangkan misalnya Pak Jo dan Pak Tirta saling berhadap-hadapan, saling menyampaikan visinya, kemudian mencoba saling memahami dan saling menanggapi. Bakal tradisi ini bagus dan perlu dirawat, hanya saja perlu ada peningkatan supaya lebih optimal.

 

Pernyataan dari Bapak Juneman Abraham
Pernyataan dari Bapak Juneman Abraham

 

Moderator kemudian menyampaikan kata penutup. Acara ditutup dengan pertunjukan musik dari mahasiswa Psychology Department.

 

 

Mahasiswa Psikologi Binus Belajar dari Psikolog Forensik Mabes Polri

Pada 17 Oktober 2014, Kelas Psikologi Forensik, Jurusan Psikologi BINUS, di bawah asuhan dosen Juneman Abraham, S.Psi., M.Si. menyelenggarakan kuliah tamu sebagai bagian dari program Global Learning System (GLS), dengan narasumber Drs. Arif Nurcahyo, M.A., Psikolog. Beliau merupakan mantan Kepala Bagian Psikolog Biro Sumber Daya Manusia (SDM) Polda Metro Jaya, yang saat ini menjabat sebagai Asesor Utama SDM Mabes Polri dan pengurus Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Himpunan Psikologi Indonesia. Topik kuliah tersebut adalah “From Dangerousness to Risk Assessment”.

 

Kuliah Global Learning System Psikologi BINUS dengan Psikolog Forensik Mabes POLRI
Suasana Kuliah Global Learning System Psikologi BINUS dengan Psikolog Forensik Mabes POLRI

 

Dalam paparannya, Arif Nurcahyo menyampaikan poin-poin sebagai berikut:

  • The Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychology mendefinisikan psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan di dalam hukum.
  • Tugas psikolog Polri dalam pemeriksaan kasus merupakan bagian kecil dari praktik Psikologi Forensik.
  • Terdapat gejala meningkatnya kriminalitas secara kuantitas dan kualitas yang bermuatan Psikologis.
  • Belum sepenuhnya psikologi memberi sumbangsih ilmu/profesi dan diterima di dalam sistem hukum. Kompetensi psikolog belum dipahami dan dimanfaatkan.
  • Psikolognya juga tidak selalu tahu harus melakukan apa.
  • Perbedaan antara psikolog klinis dengan psikolog forensik (mengutip R. J. Craigh): (1) Interview psikologi klinis menggunakan pendekatan empatik, sedangkan psikologi forensik dengan pendekatan investigatif, (2) Tujuan psikologi klinis adalah membantu klien, sementara psikologi forensik bertujuan membantu sistem/proses, (3) Sesi pertemuan psikologi klinis panjang dan berapa kali, psikologi forensik lebih terbatas (1-2 kali pertemuan dan sesuai standar yang dipersyaratkan), (4) Psikologi forensik secara etika harus menjelaskan bahwa semua informasi yang didapat bisa digunakan proses peradilan; psikologi klinis tidak perlu, (5) Psikologi klinis hanya fokus pada masalah klien, sementara psikologi forensik harus mempertimbangkan aspek hukum dari masalah yang ditanganinya (berhadapan dengan sistem PERADILAN), dan (5) Hasil pemeriksaan psikologi forensik memiliki risiko dan konsekuensi yang jelas, misal: kehilangan hak asuh, seseorang bisa masuk penjara, dll.
  • Asesmen risiko merupakan metode sistimatis untuk menentukan apakah suatu kegiatan memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Ada penilaian risiko, proses analisis, dan menafsirkan risiko dengan kegiatan dasar tertentu.
  • Asesmen risiko meliputi: (1) Risk Identification, mengidentifikasi risiko yang mungkin terjadi (kategorisasi), (2) Risk Analysis, menganalisis risiko yang mungkin terjadi (efek samping/kerugian, upaya penanggulangan, dlsb), dan (3) Risk Evaluation, pembentukan hubungan risiko dan manfaat dari potensi bahaya atau dampak yang ditimbulkan.
  • Fungsi asesmen risiko adalah: (1) Menilai berbagai jenis bencana yang mungkin terjadi dan akibat yang bakal ditimbulkan (penyimpangan-penyimpangan proses hukum), (2) Mencari tahu bagaimana cara organisasi untuk mengetahuinya (menegakkan hukum), dan (3) Menyusun/menciptakan lingkungan yang sehat dan nyaman (proses hukum yang adil).
  • Bentuk kegiatan asesmen risiko (mengidentifikasi Kebahayaan dan kemungkinan efek dari Kebahayaan): (1) Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, (2) Mengumpulkan dan Menganalisis Data, dan (3) Menafsirkan Hasil Analisis Risiko.
  • Menentukan Ruang Lingkup dan Metodologi Penilaian, mencakup: (1) Identifikasi sistem yang dipertimbangkan, bagian sistem yang akan dianalisis, dan metode analisis yang akan digunakan, (2) Fokus Asesmen pada area tertentu, termasuk memperhitungkan risiko, dan (3) Pertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi: fase dalam siklus sistem, kepentingan relatif, besar dan jenis.
  • Mengumpulkan dan Menganalisis Data (menghindari penumpukan data tapi tidak dapat dianalisis, dlsb), mencakup: (1) Penilaian Aset (informasi-dampak, dlsb), (2) Penilaian Konsekuensi (tingkat kesukaran-bahaya-penolakan, dlsb), (3) Identifikasi Ancaman (potensi kebahayaan), (4) Analisis Perlindungan (efektivitas tujuan, dlsb), (5) Analisis Kerentanan (kontrol terhadap eksploitasi), dan (6) Penilaian Kemungkinan (risiko secara komprehensif).
  • Menafsirkan Hasil Analisis Resiko mencakup: (1) Memperhitungkan hasil yang diperoleh (kegunaan) dan biaya yang dikeluarkan (keseimbangan input-output), (2) Membatasi interpretasi yang tidak didukung data/perencanaan.
  • Tugas psikolog forensik dalam penyelidikan: (1) Terkait dengan pelaku adalah melakukan criminal profiling. Psikolog memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan (the most probable suspect) yang belum terungkap dan sedang dalam penyelidikan Kepolisian, sehingga Kepolisian dapat lebih memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut; (2) Terkait dengan tersangka pelaku adalah melakukan Asesmen Psikologi kepada tersangka pelaku untuk memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan berkaitan dengan dinamika motif dan pertanggung jawaban terhadap kasus yang disangkakan, serta mempersiapkan diri sebagai saksi ahli (apabila hasil asesmen psikologi belum sepenuhnya dimengerti perangkat hukum).
  • Contoh Langkah Asesmen: (1) Diskusi dengan penyidik tentang Anatomi Kasus, mendalami profil korban dan lingkungan tempat tinggal, dlsb, (2) Merencanakan Asesmen Psikologis terhadap orang-orang di dekat korban, (3) Mendeteksi potensi dan kondisi psikologi secara umum, ada/tidaknya keterbatasan aspek psikologis tertentu (mendeteksi kondisi intelektualitas, kepribadian serta kondisi psikologis lainnya terutama indikasi psikopatologis), (4) Melakukan asesmen psikologi berkaitan kondisi berisiko dan kekhasan masing-masing subyek berkaitan dengan kasus (kehidupan sehari-hari, perilaku seksual, pola asuh masa lalu, dlsb), (5) Memfokuskan kepada sejauh mana kualitas relasi subyek dengan korban, (6) Dikoordinasikan dan dikomunikasikan dengan penyidik tentang langkah-langkah yang telah, sedang dan akan dilakukan serta saran-saran terdahulu yang kita berikan, dan (7) Berani mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan dan saat diskusi, mengaitkan dengan teori, dlsb.
  • Psikolog forensik hendaknya sanggup melakukan pemeriksaan psikologi di tempat yang terbatas (di tahanan/lapas), TKP (tempat kejadian perkara), atau lokasi lain yang masih relevan, terkadang di bawah tekanan. Dalam persidangan, psikolog hendaknya memiliki ketahanan mental yang kuat/tidak goyah (sesuai dengan kaidah profesi) saat mendapat pertanyaan yang kadang menyerang, menyakitkan.
  • Psikolog forensik hendaknya mampu menjaga kerahasiaan terkait dengan kasus yang ditanganinya (mengingat saat ini media seringkali melakukan investigasi terkait kasus). Perlu juga dicek Kode etik Himpunan Psikologi Indonesia khususnya terkait dengan psikologi forensik.

 

Arif Nurcahyo selanjutnya memberikan sharing tentang aplikasi pengetahuan di atas dalam kasus-kasus yang pernah ditanganinya, dan disusuli dengan diskusi bersama mahasiswa. Mahasiswa merespons sangat positif kuliah tamu yang sangat menarik dan membuka wawasan ini. Pertanyaan kepada narasumber terus diajukan oleh mahasiswa sampai waktu perkuliahan berakhir.

Global Learning System merupakan kesinambungan dari sistem pembelajaran berbagai kanal (multi-channel) yang selama ini telah diterapkan di BINUS. Kegiatan ini sejalan dengan amanat Rektor BINUS University, Prof Harjanto Prabowo, bahwa dengan sistem inilah mahasiswa berada di dunia yang diibaratkan dengan “kampus global”, yaitu tempat belajar sepanjang waktu.