Tag Archives: syarat jurnal profesor

Scopus “lawan” Thomson: Bagaimana agar Kita yang Menang?

Dosen dan peneliti Indonesia saat ini dilanda oleh arus besar indeksasi artikel jurnal, terlebih karena sejumlah kecil indeks dijadikan model dan parameter oleh Kemristekdikti untuk menilai kelayakan mereka dalam berproses menjadi Doktor dan seterusnya Guru Besar. Diskusi klasik memperdebatkan, manakah yang lebih baik (lebih bereputasi, lebih berkualitas): Scopus, ataukah Web of Science (WoS, dahulu: ISI Thomson Reuters)? Sejumlah orang, bahkan perguruan tinggi, berkeyakinan bahwa Web of Science lebih baik karena terkesan sangat selektif dalam inklusi jurnalnya, dan karenanya menjadikannya sebagai patokan baku mengenai kualitas. Apakah kesan ini akurat, atau lebih merupakan stereotip yang berasal dari periode-periode yang lalu?

Sebelum terlibat dalam repetisi diskusi, mari kita tinjau terlebih dahulu hal yang sudah dikaji oleh HLWIKI International.

Menurut HLWIKI International, keuntungan dan kelemahan Scopus, sebagai berikut:

  • Scopus memungkinkan pencarian berdasarkan afiliasi; dengan kode pos dan nama lembaga/institusi.

  • Scopus mencakup lebih dari 22.000 jurnal. WoS 11.000 jurnal.

  • Scopus mencakup 5-15% dari database WoS, sebelum tahun 1996, dan 20-45% lebih besar dari WoS sesudah tahun 1996.

  • Untuk publikasi sebelum 1996, cakupan yang ditawarkan oleh Scopus jauh sangat bervariasi.

  • 95% dari pangkalan data Scopus terdiri dari rekaman deskripsi dari artikel-artikelnya.

  • Sebelum 1996, jumlah artikel non-jurnal di Scopus sedikit; lalu meningkat 10% pada 2005.

  • Pada tahun-tahun terakhir, proporsi artikel non-jurnal secara signifikan lebih tinggi di Scopus daripada WoS (4%).

  • Scopus merupakan alat pencarian yang lebih melayani multi-tujuan; keuntungan yang nyata adalah fungsionalitasnya; Menyediakan fungsi informasi dasar, perbaikan, serta format hasil pelacakan kutipan/sitasi dan identifikasi penulis. (Anda harus mencobanya! 🙂 )

  • Scopus mencakup lebih banyak bidang keilmuan; namun cenderung lemah dalam bidang Sosiologi, Fisika dan Astronomi.

Masih menurut HLWIKI International, keuntungan dan kelemahan Web of Science:

  • Hanya sedikit perbedaan dalam cakupan antara Scopus dan Web of Science (WoS) dan ada tumpang tindih yang banyak.

  • WoS mencakup sains dan arts/humaniora.

  • Antarmuka pencarian WoS mengalami perbaikan namun tidak seberguna Scopus.

  • WoS memiliki lebih banyak pilihan untuk analisis kutipan/sitasi bagi institusi.

  • Ada perbedaan substansial antara WoS, Scopus dan Google Scholar (GS). GS memberikan hasil instan bagi pencari. Hal ini dapat (secara tidak sadar) menjadi alasan utama bagi pengguna untuk memilihnya.

  • Google Scholar (GS) jauh lebih besar daripada WoS atau Scopus tetapi telah terbukti memiliki referensi lebih sedikit untuk artikel terpilih. Namun, cakupan dan teknik menjaring yang unik dari Google Scholar telah terbukti menunjukkan lima (5) kali kutipan yang unik walaupun banyak hasil yang dibesar-besarkan.

 

Thomson Reuters/Web of Science. Sumber gambar: https://i.ytimg.com/vi/-4xNxTsjIOg/hqdefault.jpg

 

Berdasarkan amatan saya, belum ada riset empiris dalam satu tahun terakhir yang secara definitif menyimpulkan bahwa kualitas jurnal-jurnal dalam ISI Thomson/Web of Science lebih baik daripada kualitas jurnal-jurnal dalam Scopus. Silakan simak faktanya bahwa sekarang WoS memperbesar indeksasinya, seperti ESCI (Emerging Sources Citation Index). Jurnal-jurnal Indonesia sudah ada beberapa yang terindeks WoS, seperti Jurnal Makara UI (Makara Hubs-Asia dan Makara Journal of Health Research). Jurnal Makara belum terindeks Scopus akan tetapi sudah terindeks WoS ESCI.

Pemeringkat World Class University QS menggunakan Scopus dan Times Higher Education menggunakan WoS. Apakah satu secara definitif lebih buruk daripada yang lain? Saya kira, penyimpulan general tentang kualitas perlu kita nyatakan dgn hati-hati. Indeks WoS CPCI (Conference Proceedings Citation Index) dalam kasus-kasus kita di Indonesia bahkan lebih banyak yg berhasil digandeng untuk bekerjasama dengan lembaga penyusun prosiding konferensi ilmiah. Saya juga melihat di negara-negara lain juga seperti itu (di Yunani, Bulgaria, dll).

Dinamika indeksasi ini berjalan cepat sekali. Terjadi suatu pusaran besar dan saling lirik antar indeks-indeks yang ada, lebih-lebih yang terkemuka atau mengemuka. WoS sudah membiakkan ESCI, dan SCI SCI yang lain. Ada banyak hal yang terlibat di tingkatan global, seperti proses bisnis dan proses kebijakan/politik akademik. Tidak heran, Beall pernah mengingatkan kita semua: Jangan pernah membuat White-list. Jangan pernah andalkan White-list. Oleh karena itu, yang Beall kerjakan adalah membuat sebaliknya. Ia menyebutnya bukan Black-list, melainkan “Questionable Journals” (jurnal-jurnal yang menimbulkan pertanyaan). Berdasarkan ungkapan Beall, tidak berlebihan rasnya jika sebaiknya kita tidak punya mindset tentang adanya White Index atau Daftar Putih Jurnal.

Hemat saya, jalan terbaik bagi kita, supaya kita yang “menang” adalah: telaah kembali setiap jurnal & prosiding secara individual berdasarkan investigasi rasional dan intuisi akademis kita. Perlu waspada terhadap so called “white index”. Tidak ada indeks yang benar-benar “putih” yang bisa dijadikan rujukan mutlak!