Monthly Archives: August 2011

Masalah Kesehatan Jiwa Indonesia Dalam Perspektif Multidisiplin

Pada 2007, saya menjadi salah seorang Panitia dalam sebuah Acara Nasional yang diselenggarakan oleh Jejaring Komunikasi Kesehatan Jiwa Indonesia (JEJAK Jiwa, Ketua: dr. Pandu Setiawan, Sp.K.J.). Acara ini antara lain terdiri atas Round Table Discussion yang membahas persoalan kesehatan jiwa dari berbagai profesi terkait. Bersamaan dengan acara ini juga telah diluncurkan Indonesian Journal of Mental Health, “ATARAXIS, dalam mana saya menjadi salah seorang anggota dewan penyuntingnya. Baru-baru ini (akhir Agustus 2011) saya menyadari bahwa sangat disayangkan apabila notula acara ini hanya tersimpan dalam folder maya saya begitu saja. Mengapa? Karena isi diskusi ini sangat menarik dan interdisiplin. Sejauh saya ketahui, sangat langka adanya sebuah momen perjumpaan di mana komunitas psikologi, psikiatri, pekerja sosial, dan lain-lain berkumpul dan berdiskusi semendalam ini dan memunculkan urgensi untuk memiliki sebuah jejaring interdisiplin yang berkesinambungan bahkan memiliki keinginan bersama yang kuat membuat aksi konkret dalam rangka kesehatan jiwa di Indonesia. Sayang, memang, bahwa belum ada tindak lanjut dari isi diskusi ini yang signifikan sampai dengan hari ini. Namun demikian, isi diskusi ini menurut hemat saya sangatlah inspiratif dan saya harapkan dapat berguna buat kawan-kawan pembaca blog ini.

 

Juneman Abraham

Social Psychologist

 

 

Round Table Discussion

“THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”

Jakarta, 26 Oktober 2007

Moderator:

 

Rule-nya hanya saling tenggang rasa dalam sesi ini. Ada 3 orang pembicara di depan yang akan berbagai pengalaman terlebih dahulu sebelum diskusi dimulai. Konteks RTD ini menantang semua peserta untuk ’membaca’ kembali citra dari kesehatan jiwa. Ketiga orang pembicara diminta untuk merepresentasikan wilayah-wilayah social distress, yang kelihatannya akan memegang peranan penting dalam dinamika diskusi ke depan. Sebetulnya pada perencanaan kita ingin ada wakil dari Aceh, Yogya, dan wilayah pasca konflik seperti NTB. Sayang waktunya sempit untuk mengadakan persiapan para pembicara itu.

Untuk saat ini, tiga pembicara yang telah siap membagi pengalamannya adalah:

  1. Mama Aleta, baru mendapat award. Berjuang mengorganisir masyarakat-masyarakat adat yang tinggal dalam wilayah yang sangat luas. Dia bekerja dari satu lokasi ke lokasi lain dengan cara berkuda. Dia bersama masyarakatnya mencoba menyelamatkan kehidupan sumber-sumber air yang mengalir dari batu marmer. Dia menyatukan kepala-kepala suku yang sudah bercerai-berai untuk mempertahankan lingkungan alam mereka. Perjuangannya masih terus berlanjut sampai sekarang. Belum menang. Dan saat ini terpaksa dipisah dari suami dan anak-anaknya agar mereka terlepas dari ancaman. Saat ini bisa dikatakan dia semacam development refugee.
  2. Winston Neil Rondo, yang sebetulnya saat ini sedang dalam keadaan susah, karena anaknya selama 4 bulan sakit jantung dan dirawat di RS, namun masih mau menyempatkan diri datang ke sini. Krisis di perbatasan Timor Timur. Dia menjadi relawan CIS, menangani ekses pengungsi di wilayah Tim Tim Barat. Persoalannya tidak pernah selesai, dan mendalam. Di sana banyak perempuan menjadi korban kekerasan, dll.
  3. Tyas dari Atma Jaya, akan mengemukakan cerita wilayah distress dalam konteks urban. Akan mengetengahkan peta permasalahan dari dinamika sosial wilayah kota yang rumit.

Jadi, pertama-tama ketiga kawan ini akan menuturkan pengalamannya. Setelah itu kemudian akan dibuka RTD. Setengah jam sebelum kegiatan ini berakhir, ketiga kawan ini akan memberikan komentar balik terhadap diskusi kita.

Mama Aleta

Cerita pengalamannya selama ini Mama Aleta banyak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan. Selama ini Mama Aleta telah mendampingi masyarakat adat di 67 desa yang termasuk dalam empat kecamatan di Mulo, yang merupakan sebagian hulu NTT, jantungnya NTT. Bila dirusak Mulo ini, NTT akan mengalami kesulitan hebat.

Pembangunan memang baik, tapi bagi rakyat ini merupakan penderitaan. Bagi orang yang mau mencari keuntungan, pembangunan ini bagus, tapi bagi rakyat tidak. Pada tahun 1996, ada kegiatan penambangan satu gunung batu. Ini merugikan masyarakat yang berada di hulu maupun di hilir, karena sumber air keluar dari batu. Di atas batu itu ada hutan dan tanah-tanah rakyat. Jadi, rakyat menolak penambangan batu marmer.

Setiap gunung batu di sana menampung sumber mata air. Sehingga masyarakat menolak batu itu ditambang, karena sumber mata air akan kering, hutan akan habis, dan binatang musnah, dan akan terjadi erosi, karena tanahnya berpasir dan mudah longsor. Dilihat dari segi adat, sebenarnya nama orang Timor diambil dari batu. Jadi, batu, air, kayu tidak boleh dirusak.

Menurut tokoh adat, mereka selalu memberi simbol tanah, batu itu disimbolkan sebagai air susu ibu, yang digunakan untuk menyusui makhluk hidup. Air dikatakan seperti darah. Jika tidak ada air, semua akan mati. Hutan diumpamakan sebagai rambut. Istilah-istilah ini juga membuat masyarakat menolak tambang.

Pekerjaan ini tidak mudah diakui orang. Karena pemahaman masyarakat adat berbeda, bagi perempuan, lelaki, itu berbeda. Di titik inilah Mama Aleta bekerja, berusaha untuk menyamakan pemahaman, agar kemudian bisa bekerja bersama.

Kita tidak dapat mengandalkan LSM untuk mendapat uang. Sehingga untuk mengorganisir, Mama Aleta bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain dengan menggunakan kuda atau jalan kaki, di kondisi alam yang sulit.

Molo itu paling indah dan subur di Timor. Jadi, masyarakat berjuang melakukan aksi menolak tambang. Tanpa mempedulikan tidak memiliki uang untuk mendukung aksi. Namun dengan keberanian mereka melawan di hutan. Dan karena kurang dana aksinya dilakukan dengan cara menjaga batu, tidur di hutan bersama-sama menjaga batu. Bersamaan dengan itu, kaum perempuan mulai menerobos adat dengan keluar rumah karena merasa harus bekerja bersama untuk menjaga kelangsungan hidup.

Tahun 2000, investor harus keluar dari satu lokasi pertambangan. Tahun 2002, masyarakat mulai merebut tanah, karena penduduk bertambah, tanah sempit, sementara kehutanan mengklaim tanah sebagai tanah negara. Mulailah masyarakat berjuang untuk mengambil kembali tanah. Pada masa itu, Mama Aleta dijadikan tersangka penyerobot tanah kawasan hutan. Status tersangka ini masih melekat pada diri Mama Aleta sampai saat ini. Mama Aleta sempat diproses untuk diajukan ke pengadilan. Dia selalu diancam untuk dibunuh, namun masyarakat selalu datang untuk menjenguknya. Ini karena ikatan di antara Mama Aleta dengan masyarakatnya cukup kuat.

Tahun 2003 masyarakat berhasil mengelola tanah, meskipun belum ada pengakuan legal dari pemerintah. Beberapa lokasi penambangan batu marmer berhenti. Namun masih ada dua yang mulai melakukan kegiatan sekarang. Tahun 2006 mereka mengadakan aksi menolak tambang di Wai Tapan selama satu bulan. Namun pemerintah membangun konflik horizontal, antara masyarakat yang pro dan kontra tambang.

Mama Aleta dengan lima kawan perempuannya menjalani hukuman 5-20 hari tanpa alasan yang meyakinkan selain karena ada konflik yang terjadi tanpa melalui proses pengadilan yang baik. Perlakuan hukum yang tak adil seperti itu banyak diterima oleh masyarakat yang kontra tambang.

Masyarakat selalu protes dan menolak pertambangan, karena mereka tidak memiliki tempat tinggal lain. Kalaupun pindah, masyarakat harus mencari tanah lagi untuk pemukiman dan lahan garapan yang prosesnya memakan waktu yang sudah pasti sangat lama dan sulit.

Saat beberapa ditangkap pada tahun 2006, perempuan mulai mengambil alih melakukan aksi demo. Perempuan lebih banyak bergerak aksi, karena mereka merasa kesulitan, karena setiap hari mereka akan ke kebun 10-15 kali, untuk mengambil kayu, air, umbi, sayuran, merawat tanaman, sehingga mereka merasa kegiatan penambangan akan menimbulkan penderitaan pada mereka.

Selama perjuangan sejak Oktober 2006 sampai saat ini, mereka mengalami banyak penindasan. Ketika aksi di lokasi sendiri, pertahanan masyarakat sangat kuat,  pihak luar, preman tidak dapat masuk. Namun ketika aksi di kantor DPR banyak, masyarakat banyak memperoleh perlawanan dari polisi dan preman. Di jalan di daerah hutan, polisi menjaga jalan sehingga mereka tidak dapat masuk ke kota, mereka tertahan satu hari di hutan tanpa makanan. Mama Aleta menghubungi banyak teman LSM, yang memberi bantuan makanan sekadarnya dan mengundang wartawan datang ke lokasi penahanan sehingga membuat polisi segan menjaga jalan, akhirnya masyarakat dapat lewat dan masuk ke kantor DPRD. Namun selama di kantor DPRD, polisi dan preman melempari, mencuri bahan makanan, mencuri peralatan, dan mengintimidasi mereka. Bila ada yang keluar dari lokasi di depan kantor bupati, resikonya dihajar preman.

Dua orang laki-laki dibacok kakinya, salah seorangnya kemudian dipenjara 8 bulan. Masyarakat menolak, namun mereka lah yang kemudian malah dianiaya. Kejaksaan yang hadir hanya nonton, begitu juga polisi. Banyak yang mengalami kekerasan, dilukai secara fisik, begitu juga dengan ancaman pembunuhan. Bahkan sampai saat ini, Mama Aleta masih diancam oleh Bupati sendiri, dan sulit untuk pulang kembali ke kampung sendiri.

Winston Neil Rondo

 

Bergerak di perkumpulan relawan CISIMA (dulu CIS). Banyak orang yang mengajukan satu pertanyaan untuk soal pengungsi yang masih belum selesai, padahal waktu sudah berjalan 8 tahun, dan banyak dana dari organisasi luar maupun dalam negeri yang sudah disalurkan pada para pengungsi ini. Sampai saat ini masih ada 35 ribu jiwa yang masih tinggal di kamp pengungsi, meskipun pada 31 Desember 2001 Indonesia telah mengumumkan mengakhiri pengungsian.

Ada dua contoh kasus yang memilukan dari para pengungsi ini. Lembaga yang mulai bekerja tahun 1999 ini bekerja dengan 30 orang relawan. Di salah satu kamp yang semula merupakan sebuah lapangan luas, selama bulan November-Desember yang merupakan musim hujan, dalam satu minggu terjadi 30-40 kasus kematian balita. Di salah satu tenda tinggal seorang janda yang memiliki lima anak. Namun, dua anaknya, satu per satu harus dilepas dalam masa perjalanan ke Kupang, sebelum menetap di kamp pengungsian. Pada musim hujan itu, dia harus kehilangan dua anaknya lagi akibat diare. Yang mengenaskan, ketika seorang anaknya meninggal, mayatnya tidak dapat langsung dikubur dan harus menunggu lebih dari dua hari, sementara anak yang lain sedang sekarat. Tak ada yang mampu menolong, karena keadaan saat itu membuat semua relawan juga mengalami stress luar biasa. Akses kemanusiaan sangat terbatas saat itu. Ketika itu milisi Indonesia menguasai kamp.

Pada tahun 2002, Winston tinggal di gereja bersama istri. Tepat di seberang jalan terdapat satu kamp pengungsian. Hampir setiap minggu di situ terjadi kecelakaan dengan korban anak-anak, saking semrawutnya keadaan di situ. Sekitar dua bulan yang lalu, terjadi satu kasus tabrakan dengan korban seorang anak. Sesungguhnya sewaktu tabrakan, si anak masih hidup. Namun, setelah terjadi kecelakaan, orang tua si anak sibuk tawar-menawar ganti rugi dengan pelaku. Ketika disepakati dan dibayar Rp300 ribu, si anak meninggal. Di sini terjadi persoalan psikologi yang membuat orang waras bertanya-tanya mengenai perilaku orang tua. Namun sesungguhnya, jika ditelaah kondisi orang tua yang tanpa pekerjaan dan tanpa harapan hidup, membuat hati menjadi keras dan tega menjadikan penderitaan sebagai ajang komersil.

Ada 3 hal pokok yang perlu disoroti untuk mengamati persoalan psikososial di Timor Barat ini:

  1. Aktor dalam proses ini ada tiga, yaitu pengungsi, masyarakat lokal, dan pihak yang memiliki perhatian terhadap persoalan pengungsian ini. Para pengungsi ini secara umum terbagi dua dalam mengidentifikasikan kepengungsian dirinya: pertama, ada yang tidak suka dikatakan sebagai pengungsi; kedua, ada yang betul-betul senang mengaku sebagai pengungsi, karena masih berharap mendapat banyak bantuan dan juga karena ada pandangan bahwa pengungsi ini terkesan heroik. Aktor kedua, yaitu masyarakat lokal. Aktor ketiga, para pemerhati persoalan pengungsi, yang keran pada umumnya pertama kali menemui persoalan pengungsi, kemudian malah tidak jarang terjadi penumpukan masalah yang pada umumnya disebabkan oleh simpang siurnya data dan penanganan bantuan.
  2. Pola hubungan. Pengungsi dan masyarakat lokal memiliki sifat sosial sendiri yang dalam interaksinya kemudian saling mempengaruhi. Yang perlu diketahui pada umumnya kekuatan militer kuat di kamp pengungsian sangat kuat. Persoalan lapisan kelompok-kelompok masyarakat, yang diatur sedemikian rupa sehingga bagian terluar terdiri dari polisi dan militer, membuat ketidakadilan pembagian bantuan kemanusiaan. Bahkan saking kuatnya pengaruh militer di kamp pengungsian ini membuat muncul persoalan baru setelah pengungsian, yaitu persoalan kemandirian. Pola hubungan yang terjadi bisa bersifat struktural dan fungsional. Pada pola hubungan struktural sering timbul konflik, karena alat yang digunakan untuk memperkuat pola ini adalah kekerasan.
  3. Pemenuhan kebutuhan hidup. Ruang pemenuhan kebutuhan hidup semakin sempit dengan masuknya pengungsi. Lahan pertanian semakin sempit karena digunakan untuk memenuhi kebutuhan bermukim pengungsi. Demikian juga dengan pepohonan dan air. Kebanyakan hidup dalam keterbatasan. Kondisi ini membuat pengungsi mudah dieksploitasi dan dimanipulasi pihak-pihak yang terlibat dalam perebutan kekuasaan. Dalam situasi seperti ini, yang paling menjadi korban adalah kaum perempuan.

Dalam kamp-kamp pengungsian, banyak terjadi kasus pemerkosaan terhadap perempuan secara berulang, baik di kamp masyarakat, maupun kamp pemerintah. Dan bagi kaum perempuan, setelah menjadi korban perkosaan, dia masih harus menjadi korban akibat selalu dicap dengan perkataan-perkataan negatif atau diperlakukan rendah oleh masyarakat. Berbeda jika laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Misalnya, pemukulan terhadap satu laki-laki akan dianggap sebagai persoalan bersama, persoalan kolektif.

Ini berpengaruh besar pada rendahnya kualitas hidup masyarakat akibat hubungan strukturalis yang kental dengan patriarkis.

Tyas

Berbeda dengan panelis sebelumnya, Tyas akan menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian-penelitian Atma Jaya.

Sebetulnya perlu dilakukan pemetaan beberapa masalah sosial seperti panelis sebelumnya yang dihubungkan dengan diri kita, ini berkaitan dengan masalah kesehatan jiwa. Kebutuhan pelayanan masalah kesehatan jiwa ini muncul.

Di sini perlu diasah kepekaan kita pada masalah-masalah sosial. Root terkuat di sini adalah sosial power dan super power yang merasa berhak mendapat kekuasaan. Dari masalah perbedaan power itu tampak dalam penanganan bencana alam. Hampir seluruh bagian Indonesia rentan bencana alam. Dan ternyata penanganan yang umum terjadi, uang sudah banyak diberikan namun penanganan tercecer. Tidak merata dan tidak selesai.

Berkaitan dengan pengungsi, tarikannya sangat besar dengan kesehatan jiwa. Masalah yang muncul adalah soal secondary trauma, bukan cuma pada korban, namun juga pada orang-orang yang bekerja di wilayah bencana. Shock bisa menimpa para pekerja sosial. Ini sering terabaikan, karena kita sering merasa bahwa pekerja kesehatan terkuat dalam hal kesehatan jiwa.

Masalah lain yang serius adalah migrant workers. Para TKI, baik yang dari luar maupun dari rural ke urban, mengalami trauma juga. Beberapa TKI merupakan korban kekerasan, sehingga mengalami trauma berat. Permasalahan ini sangat luas, termasuk pada kebijakan pemerintah. PR kita sangat komplikasi.

Soal gantung diri sangat serius, karena semakin lama semakin tinggi intensitasnya. Belum ada pengelolaan secara komprehensif untuk melakukan deteksi dini terhadap persoalan ini. Belum ada inisiatif dari para psikolog untuk duduk bersama.

Soal urban issues, berkaitan homeless, street children, dll yang akhirnya bermuara pada kesehatan jiwa. Banyak orang di jalanan yang ketika kecil menjadi korban, saat dewasa akhirnya menjadi pelaku kekerasan.

Soal narkoba juga menjadi masalah lain.

Berkaitan dengan ekologi, ada stress yang luar biasa pada kelompok marjinal di daerah urban. Misalnya, masyarakat yang ada di pinggiran sungai, tidak tahu bagaimana cara menjalani hidup sehat. Kemudian akhirnya malah berkontribusi menjadi penyebab lingkungan tidak sehat.

Persoalan benturan budaya. Salah satu contohnya adalah yang namanya kesurupan massal. Menurut penelitian di Atma Jaya, persoalan psikis kesehatan mental yang sangat serius yang terjadi secara masal. Atau merupakan efek domino.

Secara nasional, ada semacam degradasi moral terhadap wawasan kebangsaan. Kita bersikap skeptis terhadap berbagai permasalahan sosial, misal korupsi dsb. Bila dibiarkan ini akan menjadi persoalan mental yang luar biasa. HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) memberi perhatian yang sangat serius berkaitan dengan wawasan kebangsaan yang sangat kritis, di mana egoisme semakin meninggi. Kasus dua orang panelis sebelumnya cukup baik untuk menjadi counter kasus.

Kita perlu banyak belajar dari kasus-kasus sosial dan bagaimana mengatasinya. Untuk itu, kita perlu duduk bersama secara setara tanpa klasifikasi. Tentunya, ini tidak bisa diselesaikan sendiri-sendiri. Karena masing-masing memiliki keterampilan khusus. Untuk masalah kesehatan jiwa dalam scope lebih besar ada kebijakan pemerintah. Posisi psikolog di mata pemerintah sangat bermasalah, tidak ada pengakuan dari pemerintah. Tidak ada tunjangan profesi untuk psikolog. Dalam peraturan pemerintah, posisi psikolog disetarakan dengan paranormal. Psikolog dihargai rendah oleh pemerintah.

Kasus-kasus sosial membutuhkan banyak pekerja sosial dalam penanganannya. Namun pendidikan untuk menjadi social worker tidak ada. Seolah-olah ini merupakan pekerjaan tidak tetap, sebagai batu loncatan. Dan bukan profesi. Tidak ada pembekalan yang cukup bagi pekerja sosial yang akan terjun dalam tugasnya. Kasus-kasus sosial butuh pembekalan yang tidak main-main untuk para pekerja sosial dari profesi psikolog dan psikiater.

Saya menantang teman-teman di sini untuk memikirkan apa yang harus kita lakukan.

Round Table Discussion

 

Diskusan 1:

Pernah mengikuti simposium pengajar, dokter dan psikolog, dan dalam pertemuan itu sempat datang Butet Manurung yang bekerja mengajari anak-anak orang rimba. Dia belajar 7 bulan untuk memahami apa yang sesungguhnya diinginkan oleh masyarakat lewat pendidikan.

Seperti inilah semestinya pemerintah bekerja, yaitu dengan memberi perhatian terlebih dahulu, dan mencermati serta mempelajari apa yang sesungguhnya diinginkan masyarakat melalui pendidikan.

Contoh lain seperti yang dikatakan Sartono Mukakdis mengenai satu fase pendidikan dan satu fase pengajaran. Dan sebagian besar anak yang seharusnya mendapat fase pendidikan malah mendapat fase pengajaran.

Jadi, perlu ditanyakan ulang, apakah yang dilakukan oleh layanan masyarakat apakah sudah benar-benar merupakan keinginan masyarakat? Seperti kejadian di NTT yang diceritakan Mama Aleta, itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah di sana bukan merupakan keinginan masyarakat.

Jadi sebagai service provider, kita harus empati terhadap apa yang sebenarnya dibutuhkan dan dikehendaki oleh masyarakat dari kita.

Dan sebagai tanggapan terhadap keluhan psikolog yang belum benar-benar diakui statusnya oleh pemerintah, dalam waktu yang tidak terlalu lama tenaga psikologi klinis akan menjadi tenaga kesehatan.

Diskusan 2:

Selama ini, para psikolog dan psikiater dalam menghadapi berbagai masalah bencana, trafficking, dll, dituntut untuk berbuat banyak. Namun, beberapa teman sudah merasa jenuh dengan kegiatan-kegiatan ini yang programnya hanya memberikan training atau asesmen, setelah itu selesai. Itu hanya membuang-buang uang dan tenaga serta waktu.

Menurut saya, perlu ada satu payung yang memiliki power dan uang, sehingga setiap kegiatan jelas dan hasilnya padu. Saya mengajak, apakah mungkin kita punya mental health institutional secara nasional di sini. Sehingga kemudian gerakan yang berkaitan dengan kesehatan jiwa ini, mulai dari political will hingga gerakan di lapangan akan menjadi gerakan yang padu.

Diskusan 3:

Saya seorang pekerja sosial, dan bagi saya penting adanya satu institusional untuk pekerja sosial. Saya pernah bekerja di Papua, dan saya banyak menemukan kekerasan rumah tangga di sana. Saya bertindak sebagai konselor untuk berbagai konflik rumah tangga. Setelah itu, saya masuk ke IOM, dengan menjalani training terlebih dulu. Di awal menjadi pekerja sosial, seperti banyak orang, saya merasa posisi pekerja sosial ini merupakan profesi terendah. Tapi setelah 7 tahun, lambat-laun saya merasa bangga dengan pekerjaan ini.

Di IOM, kami menampung berbagai masalah yang dialami para demonstran. Dan dalam pekerjaan-pekerjaan seperti itu, kami tidak memiliki psikiater khusus. Menurut saya, perlu diadakan rekrut bagi pekerja sosial untuk diinstitusikan.

Diskusan 4:

Saya merasa di negara ini psikolog seperti anak tiri.

Mengenai kondisi negara sekarang, beberapa tahun lalu ada pekerjaan membuat UU Otonomi Daerah, karena ada pemikiran bahwa desentralisasi akan membuat penanganan kesejahteraan rakyat akan lebih baik. Saat diberlakukan, ternyata tidak ada perubahan dari sebelumnya, bahkan suasananya makin ricuh. Apa yang terjadi sebetulnya di negara ini?

Lalu mengenai pekerjaan kita, sebaiknya kita cari pilot project di satu wilayah, yang ke depannya nanti akan berkembang ke wilayah-wilayah lain. Sebagai tambahan pemikiran, guru sebetulnya bisa dimanfaatkan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan konseling.

Diskusan 5:

IOM punya program selain tsunami, counter trafficking, dan irregular migrant. Irregular migrant ini adalah imigran dari negara lain yang mencari suaka politik. Pekerjaan-pekerjaan kami dekat sekali hubungannya dengan masalah kesehatan mental. Kami melakukan pendekatan individual secara holistik dari segi fisik dan mental. Kami menggunakan skala Hamington Scale. Dari sini bisa ditentukan siapa yang bisa mendampingi orang itu selanjutnya, apakah cukup dengan pekerja sosial, psikolog atau bahkan perlu psikiater. Setiap klien juga akan memperoleh inform concern setelah diberi penanganan pada satu masa tertentu. Untuk para migran, kami juga mengadakan kegiatan psiko-sosial. Jadi, menurut saya, bila berbicara mengenai kesehatan, termasuk di dalamnya adalah kesehatan jiwa, bukan melulu kesehatan fisik.

Moderator:

Setelah mendengar panelis dan lontaran-lontaran diskusi, saya pikir di sini masih ada gap antara pekerjaan-pekerjaan dalam kasus-kasus tertentu dengan profesi khususnya. Ada satu soal yang mungkin belum dipahami dari cerita pengalaman dua panelis tadi, yaitu antara bagaimana kenyataan pekerjaan mereka di lapangan berhubungan dengan profesi khusus kita. Mungkin ini salah tangkap, tapi tolong direspon.

Diskusan 6:

Berbicara soal kebangsaan. Sebagai refleksi diri, dalam beberapa hal kecil, seperti misalnya mengenalkan lagu daerah kepada anak, sekarang ini sudah jarang dilakukan orang tua. Dari hal-hal seperti ini dapat diindikasikan penurunan rasa kebangsaan dari masa ke masa. Kasus lain, saya pernah menemui sekelompok pemuda asing yang menyengaja datang ke Bandung hanya untuk masuk ke gedung Asia Afrika. Sementara yang biasanya menjadi perhatian saya di Bandung ini adalah pusat perbelanjaannya. Dan ini membuat saya tidak pernah mengenalkan anak saya sendiri pada berbagai informasi sejarah kemerdekaan bangsa.

Bila kita perhatikan, selama ini demo yang paling diperhatikan oleh pemerintah adalah demo yang dilakukan oleh PGRI. Karena tak lama setelah berdemo, kemudian diadakan peningkatan-peningkatan di bidang pendidikan.

Diskusan 7:

Saya sebenarnya bingung mengenai kaitan saya dengan Mental Health. Selama dua hari ini saya melihat bahwa ternyata mental health ini tidak menjadi prioritas di negara Filipina. Apakah ini juga persoalan di Indonesia?

Menurut saya, semua profesi seperti psikolog, guru, dan lain sebagainya ini harus bekerja secara seirama. Dan yang utama dilakukan adalah bagaimana bersama-sama memberi pemahaman kepada pemerintah bahwa soal mental health ini merupakan persoalan besar bagi keberlanjutan bangsa.

Berbicara tentang pekerja sosial, sebetulnya sudah ada beberapa pendidikan formal, misalnya STKS di Bandung. Dan sebetulnya pekerja sosial ini cukup diperhatikan oleh pemerintah, buktinya di Depsos ada banyak pekerja sosial yang merupakan PNS. Untuk ke depan sebetulnya diharapkan pekerja sosial ini tersebar di banyak lembaga, baik sekolah, RS, dll.

Diskusan 8:

Menanggapi Ibu Tyas, tentang beberapa bidang yang menjadi masalah mental health. Saya kuatir berbagai masalah ini menjadi tidak menarik isunya, baik bagi masyarakat maupun kalangan profesional. Sehingga tidak banyak yang mau menanggapi. Sebetulnya saya berharap, bahwa persoalan-persoalan ini tidak hanya dibicarakan, namun juga ditangani sebagai persoalan mental health.

Ada baiknya para profesional untuk terjun langsung dan melihat persoalan di masyarakat. Kita harus masuk ke dalam kelompok-kelompok marjinal yang rentan terhadap persoalan jiwa ini, sehingga dapat lebih mengenal kebutuhan mereka. Saya rasa, itu yang masih kurang dilakukan sampai saat ini.

Saya coba melihat, ada beberapa faktor yang menjadi fokus masalah mental health ini. Ada faktor kemiskinan, bukan hanya miskin secara ekonomi namun juga miskin terhadap berbagai akses kehidupan, seperti yang dialami oleh para pengungsi dan masyarakat pedalaman.

Kemudian persoalan kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai kelompok yang punya kekuatan, seperti para pekerja sosial, psikolog, dan psikiater yang bekerja untuk menangani kesehatan jiwa, justru pada kenyataannya rentan terhadap masalah kesehatan jiwa. Menurut saya ini membuat persoalan menjadi semakin rumit.

Diskusan 9:

Saya tertarik pada cerita pengalaman dua panelis yang mengalami periode-periode sulit.

Dalam pengalaman saya, kata-kata jiwa sangat abstrak maknanya dan kurang dipahami masyarakat. Saya pernah bertanya pada 200 psikiater muda mengenai apa yang mereka ketahui tentang jiwa, dan jawabannya adalah kebingungan. Apalagi untuk masyarakat awam.

Jadi, kata jiwa ini perlu dijelaskan secara lebih mendalam. Ada kecenderungan bahwa saat berada di daerah konflik, akan terjebak penyakit, disorder. Padahal sesungguhnya sederhana saja untuk menjelaskan jiwa itu, bukankah untuk tersenyum itu dibutuhkan jiwa.

Persoalan pengungsi di Tim Tim tadi dikatakan tidak akan pernah selesai. Mungkin memang tidak akan selesai. Karena memang terdapat kerumitan di sini. Kemudian juga untuk Mama Aleta yang sebetulnya keinginannya sederhana saja, yaitu ingin mendapat rasa sayang, rasa aman dalam hidupnya. Namun ternyata di lapangan dengan berbagai aktor dan kepentingan serta kebiasaan, keinginan sederhana ini menjadi rumit.

Diskusan 9:

Menurut saya, kedua panelis ini merupakan pejuang, karena masing-masing memiliki kepedulian terhadap masyarakat di daerahnya. Mereka peduli untuk memikirkan masa depan generasinya. Rasa kepedulian seperti inilah sebetulnya yang semakin terkikis di mana-mana saat ini, terutama di kota-kota. Dan ini sebenarnya merupakan masalah bagi kesehatan jiwa.

Dalam hal profesi yang berkaitan dengan kesehatan jiwa, ada perawat kesehatan jiwa di sini yang perlu diperhatikan. Para perawat merupakan kelompok yang sebenarnya termarjinalkan. Walaupun secara pendidikan sudah tinggi, namun dari pemerintah tidak ada bantuan pembiayaan untuk pendidikan S1 dan selanjutnya bagi perawat.

Di masyarakat sekitar kita masih banyak penderita kesehatan jiwa yang penanganannya dengan cara dipasung, padahal domisilinya dekat dengan RSJ. Ini satu persoalan sesungguhnya. Dengan begitu banyak persoalan, kita perlu memikirkan bagaimana masalah kesehatan jiwa ini menjadi persoalan bersama, baik bagi dokter, petugas sosial, maupun psikolog dan psikiater.

Diskusan 10:

Bila diperhatikan kegiatan sehari ini, sesi pertama pagi tadi perbincangannya lebih di sisi psikologi, sementara sesi kedua lebih membicarakan dampak sosial yang menimbulkan masalah psikologi. Di sini ada keinginan antara pekerja sosial, psikolog dan psikiater untuk bekerja bersama. Sebenarnya, sejak dulu di RSJ ada kewajiban, ada peran psikososial. Sekarang ini RSJ tidak lagi custodial, tapi biomedikal-psikososial. Saya sendiri sebetulnya kebingungan, saya ingin berbuat, tapi bagaimana caranya.

Saya akui, saya masih custodial. Pada tahun 1999, terjadi masalah sosial yang berdampak psikologis, ada masalah kerusuhan etnis. Pada saat itu semua berharap RSJ bisa berbuat sesuatu. Saya sampai pada satu pencerahan, lewat buku Community Psychiatry. Menurut saya, Pak Kadir hebat sampai bisa menurunkan board dari RS. Lewat pengalaman ini, akhirnya saya mengenal assertive community treatment (ACT). Ini satu alat yang bisa membuat saya mampu bekerja di komunitas. Melalui kesempatan ini, saya ingin mengajak kawan-kawan RSJ untuk bekerja dengan pendekatan ACT ini.

Diskusan 11:

Semakin lama saya merasa bertambah bingung. Barangkali kita perlu menanggalkan semua seragam kita untuk berani bergerak bersama dan menghadapi tantangan di depan kita. Barangkali di sini tidak hanya sekedar wacana-wacana yang dibicarakan, namun juga harus menjadi realitas untuk bisa dikerjakan.

Diskusan 12:

Saya mengapresiasi dua panelis di depan tentang realita di daerah. Saya pikir sudah saatnya kita harus mulai membicarakan problem solving, dan cukup berbicara tentang berbagai masalah kita. Ada banyak masalah-masalah kesehatan jiwa di sekitar kita yang sebenarnya menakutkan dan harus diselesaikan. Kalau ada yang mau aksi, apa yang harus dilakukan secara konkrit. Namun, sebagai pekerja kesehatan yang sebetulnya seharusnya bersikap paling waras, sebaiknya jangan melakukan hal yang anarki. Jika aksinya kemudian kita ingin memunculkan ikon, siapa dan seperti apa ikonnya. Atau yang terakhir adalah memformulasikan, jangan sekedar mencatat dalam bentuk notulensi yang kemudian ujung-ujungnya malah disimpan. Kita harus membicarakan apa yang harus dilakukan bersama segera.

Diskusan 13:

 

Kita harus melebur bersama dan punya terminologi yang jelas dalam bidang kita. Seperti pengalaman penelitian kami, yang paling mendasar diputuskan kuesioner apa yang digunakan agar lebih mudah diterapkan pada masyarakat oleh para pekerja di lapangan. Sesungguhnya ada banyak kesulitan dalam penelitian di lapangan terhadap masyarakat yang malah mengurangi kualitas ilmiah penelitian. Yang paling ekstrim kemudian berpikiran untuk menghilangkan saja ilmu jiwa dan menggunakan biomolekul atau biomedis untuk mendiagnosa masyarakat berkaitan dengan mental health.

Kemudian, masukan untuk jurnal baru, supaya ada akreditasi dari satu lembaga, entah dari LIPI atau DIKTI untuk jurnal ini.

Diskusan 14:

 

Zaman dulu hidup susah dengan adanya perang, untuk makan mengalami kesulitan. Tapi dulu, support system-nya bagus, kekeluargaan bagus, hubungan sosial bagus, sehingga kesulitan hidup masih bisa ditanggulangi. Ini yang sulit pada masa sekarang. Dulu pemerintah punya slogan kesetiakawanan sosial. Jadi, menurut saya, sebaiknya kita pikirkan bagaimana cara mendorong kesetiakawanan antar manusia, misalnya dengan mengupayakan berbagai kegiatan dalam hal orientasi spiritual dan seni. Bila kesetiakawanan sudah terpupuk, tentunya masyarakat bisa saling mendukung dalam masa sulit.

Diskusan 15:

Mama Aleta membuat saya hampir menangis melihat kondisinya. Membuat kita bertanya, bagaimana cara membantu Mama Aleta ini? Apa dia akan dipulangkan saja ke Kupang dengan segala kondisinya yang sulit, dan kita pulang ke rumah dengan tanpa beban. Begitu juga dengan Winston. Apa yang harus diperbuat?

Mereka tidak membutuhkan sanjungan atau penghargaan. Yang mereka butuhkan adalah jejaring macam apa yang bisa diberikan pada mereka. Mereka membutuhkan kontribusi yang praksis. Kita tidak perlu berdebat soal terminologi lagi. Jangan karena alasan metodologis kita tidak bicara hal praksis. Saya minta, kita berbicara lebih mengerucut dan konkrit. Pak Pandu tadi meminta kita menjadi simpul dari berbagai jejaring. Jadi, sekarang masih ada waktu bagi kita untuk berbicara lebih mengerucut dan praksis tentang apa yang akan kita lakukan.

Moderator

Menyambung pembicaraan terakhir, dugaan saya, sekarang ini sebetulnya kita bisa sampai jadwal tentatif yang sederhana. Misalnya, saya bisa tahu telepon Mama Aleta dan di mana menemuinya, sehingga setiap orang kemudian akan dapat menentukan sendiri bantuan apa yang bisa diberikan pada Mama Aleta dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Namun saya mengusulkan dua wilayah kegiatan berdasarkan desain yang orang-orang yang diundang dan hadir, yaitu psikolog dan akademik. 99% sebetulnya berasal dari profesi psikolog dan psikiater.

  1. Social distress sebagai sebuah wilayah penekan yang bisa ditarik kemana-mana. Kita punya satu wilayah pencarian untuk mendorong penelitian-penelitian yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga kemudian didapat, apa saja yang menjadi wilayah social distress. Ini bisa kita coba selama 2 semester. Jurnal yang telah kita terbitkan sekarang ini bisa memberi insentive untuk support penelitian seperti ini. Hasilnya kemudian akan diikat dalam semacam reasearch report. Sehingga orang-orang bisa melihat wilayah-wilayah social distress yang ditemukan.
  1. Wilayah penelitian homelessness. Dimensi ini di Indonesia cukup luas. Pertanian menjadi bangkrut orangnya karena urbanisasi. Ini persoalan perubahan sosial. Sekian juta orang mengalami gangguan kesehatan jiwa karena persoalan ini. Batasnya sangat luas, bukan hanya di wilayah urban. Dalam dimensi ini banyak terjadi eksodus besar-besaran dan wilayah pemukiman dihancurkan tanpa diganti.

Kalau dua wilayah ini bisa jadi wilayah contoh, risetnya kolaboratif. Misalnya, saya mengundang kawan-kawan di Atmajaya untuk membicarakan dua wilayah ini sebagai long term reasearch agenda di Indonesia, umpamanya selama 5 tahun.

Ini penawaran dari kita. Seandainya ada ide konkrit lain yang lebih sederhana, silahkan diungkapkan. Jejak Jiwa tidak sama dengan national institutional health, namun merupakan jejaring. Sehingga merupakan simpul dari berbagai lembaga dan profesi yang masing-masing punya power. Sepertinya kita ingin melakukan terlampau banyak, namun kapasitas kita tidak ada. Namun sebetulnya sederhana saja, pilih pekerjaan yang sesuai dengan kapasitas kita.

Road map merupakan percobaan kita untuk membuat mapping mengenai apa yang bisa kita lakukan sesuai dengan kapasitas kita. Kemudian silakan untuk membicarakan secara konkrit tentang desain proposal penelitan kita.

Diskusan 16:

 

Sudah jelas sekarang, tidak perlu lagi kita bicara soal psikiater dsb. Namun sebagai manusia, kita bisa berbuat sesuatu. Kegiatan-kegiatan Jejak Jiwa ini adalah investasi untuk masa mendatang, bukan untuk kita.

Diskusan 17:

Sebetulnya ketika Pak Pandu, dkk menyusun kerangka acuan, tentunya sudah dengan pertimbangan. Mas Yoyok sudah mulai mengusulkan membuat satu riset. Kami sangat peduli soal ini. Bagaimana kalau kita mulai dari satu gugus kerja. Karena kita semua terdiri dari berbagai profesi, baik psikolog, social worker, psikiater, akademisi, dll.

Diskusan 18:

Dalam kondisi Mama Aleta, bayangan saya masyarakatnya penuh dengan depresi. Pada masa itu apakah ada orang yang membantu? Beranjak dari situ, mungkin Mama Aleta bisa memikirkan dan membawa oleh-oleh kira-kira apa yang bisa dilakukan mengenai persoalan ini. Masukan-masukan apa yang bisa dibawa Mama Aleta untuk membentuk kelompok-kelompok agar lepas dari masalah depresi itu di sana.

Diskusan 19:

Kita memasuki acara 2 hari ini sudah lebih terorganisir, dengan berhasil menerbitkan jurnal Ataraxis. Banyak sekali kekurangan dalam kegiatan yang sudah dilakukan, namun sudah ada buktinya. Kalau kita selesai kegiatan hari ini, tentu harus ada follow-up-nya. Ada beberapa alternatif action plan. Sebaiknya ada komitmen dari peserta untuk mengikatkan diri sebagai simpul jejaring. Ini menjadi saran kita untuk melangkah lebih jauh. Tak mungkin kita menyusun action plan tanpa terhubung terlebih dahulu. Setelah ada komitmen, kita bisa membuat electronic conference. Di situ kami akan melempar action plan untuk melangkah bersama, apa yang akan dilakukan untuk menghadapi persoalan-persoalan yang muncul. Konferensi itu akan menghasilkan tindakan-tindakan. Setiap tindakan itu akan kita olah dan menjadi isu dari jurnal-jurnal selanjutnya, untuk kemudian dilempar kembali dan memperoleh masukan, kemudian dievaluasi.

Diskusan 20:

 

Kemarin saya baca majalah dari WHO tentang Health Promoting School. Mungkin kita bisa melakukan Mental Health Promoting School. Saya merasa kita terlalu banyak bekerja di RS, dan saya senang diajak kemari sehingga bisa bekerja bukan hanya di klinik saja. Sehingga pekerjaan kita bisa lebih meluas, agar kemudian hari Indonesia Sehat bisa terwujud. Apapun yang bisa dilakukan oleh kita masing-masing kemudian disebar lewat e-mail, dan menjadi contoh buat yang lain-lain.

Diskusan 21:

 

Sangat luas pembahasan di sini. Kita semua setuju dan menghargai apa yang dilakukan Jejak Jiwa sampai saat ini. Saya rasa semua ini diperlukan selain berbagai kegiatan klinis di bangsal-bangsal RS.

Sebagai psikiater, saya merasa ada sedikit kecemburuan terhadap psikiater yang seolah menjadi profesi nomor satu di bidang ini. Padahal, masalahnya sebetulnya adalah soal birokrasi dan pandangan yang salah.

Cerita pengalaman yang dikemukakan oleh panelis sesungguhnya menggambarkan bahwa persoalan non klinis jauh lebih besar dari masalah klinis. Sebetulnya di sekitar kita banyak terjadi masalah non klinis juga. Penyelesaian masalah mental health seperti ini tidak bisa diselesaikan oleh satu profesi, namun perlu pemikiran bersama untuk menyelesaikan semua persoalan ini.

Gangguan kesehatan jiwa tidak dapat dideteksi secara fisik. Belum ada alat untuk itu sampai saat ini. Penelitian merupakan satu hal yang dapat kita lakukan untuk menciptakan instrumen tentang mental health ini. Kita butuh task force yang bekerja terus-menerus, secara suka rela. Di situ kekuatan kita, mewakili berbagai profesi dan institusi yang berbeda, dari representasi yang berbeda. Bukan aktivitas yang berbau penelitian, yang sebetulnya lebih kompleks.

Kalau berbicara soal kekuatan kita sebagai satu pressure group, sesungguhnya penerbitan jurnal ini sudah baik. Namun harus ada juga pengamatan-pengamatan dan kajian-kajian terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan mental health. Seperti halnya yang dilakukan LSM. Menurut saya, peniruan kegiatan seperti ini bagus juga dilakukan.

Konkritnya, kita membutuhkan satu working group yang bisa lebih praktis secara rutin membicarakan isu-isu dan mengundang peran aktif yang dinamikanya lebih hidup.

Diskusan 22:

Saya sekedar ingin bertanya, kalau seseorang melakukan persoalan yang berkaitan dengan kriminal, mereka akan mencari pengacara; Persoalan keamanan, mencari polisi; Kalau sakit, mencari dokter. Bagaimana kita menyikapi satu keadaan stress yang sangat tinggi, saya harus pergi ke mana?

Diskusan 23:

Kita sedang mereformasi sistem kesehatan jiwa. Kita melakukan reformasi pelayanan kesehatan jiwa. Kalau seseorang berbau mengalami gangguan kesehatan jiwa, ada leveling di situ. Penanganan penderita ini ada self care, family, komunitas, dst. Pelayanannya berjenjang.

Di Aceh, 40% pasien gangguan jiwa seharusnya sudah di-discharge, setelah dievaluasi. Kita harus melakukan realokasi berbagai resource untuk melakukan ini. Di negara maju, alokasi dukungan untuk kesehatan jiwa sebesar 60-90%. Hanya beberapa penderita tertentu yang ada di RS. Di Aceh alokasi SDM jadi masalah, psikiater tidak punya wewenang untuk menempatkan orang.

Moderator:

 

Ketiga panelis awal diberi kesempatan untuk memberi komentar. Kemudian saya mengusulkan untuk menjaring usulan-usulan yang tadi sudah dilontarkan kawan-kawan.

Mama Aleta:

Saya bingung aktivitas saya dikaitkan dengan sakit jiwa. Pada awalnya saya hanya diminta menyampaikan cerita. Namun, setelah beberapa usulan dari peserta, sudah mulai jelas. Selama ini kita selalu memisahkan kesehatan jiwa dengan lingkungan seperti yang kami alami. Tapi, saya tidak tahu, apakah kita harus terjun langsung seperti yang saya lakukan, atau membuat RSJ. Saya tidak tahu seperti apa yang harus dilakukan.

Pada akhirnya ada ide yang cukup menarik. Saya harap para dokter jangan hanya bekerja di Jakarta, karena di NTT belum ada dokter khusus menangani kesehatan jiwa. Di NTT banyak kasus yang dininabobokan. Kita harus masuk ke dalam NTT, baru bisa tahu. Bukan hanya di daerah bencana, namun juga di NTT. Karena di NTT persoalannya mungkin jauh lebih jahat dibanding bencana.

Winston:

 

Pertama, refleksi sebagai pekerja di daerah post-konflik, bahwa pendekatan pembangunan dan bantuan kemanusiaan masih belum adil, antara yang bersifat pemenuhan fisik maupun kesehatan jiwa. Ketidakadilan ini dilakukan secara bersama. Ini refleksi kami.

Kedua, kalau kita bertanya pada para janda tentang harapannya di masa depan, biasanya mereka menjawab, ’jangan lupakan kami, perlakukan kami sebagai manusia seutuhnya’.

Ketiga, di masyarakat Tim Tim tatkala menyambut teman, kami menerima dengan tangan terbuka. Jadi bapak ibu dari berbagai profesi di sini, panggung bantuan kemanusiaan ada banyak tersedia di sana. Silakan membantu dalam bentuk apapun.

Tyas:

Ada 4 hal yang betul-betul ingin dikerjakan:

Pertama, ada persoalan profesi di antara kita. Kita perlu memperhatikan hal ini, agar kita bisa benar-benar duduk setara dan bekerja sama.

Kedua, berkaitan dengan kegiatan sosial yang riil, kita turun gunung langsung ke lapangan. Masalahnya, apa sesuai dengan kapasitas masing-masing dan sesuai dengan prioritas pekerjaan.

Ketiga, membutuhkan riset. Perlu mengkomunikasikan topik-topik apa yang menjadi prioritas kita. Ada dua poin yang bisa kita pikirkan bersama berkaitan dengan usulan moderator.

Keempat, jejaring kita harus membangun milis untuk selalu meng-update apa yang dilakukan kelompok-kelompok simpul.

Moderator:

Ada praktek sosial dan institusional untuk mendorong para praktisi bekerja. Bukan hanya tiga profesi yang sebagian besar hadir di sini, tapi juga profesi lain. Misal urban planner, mungkin perlu kita ajak dalam prakteknya, untuk diingatkan.

Ada dua wilayah dalam profesi yang perlu diingat, harus ada demokrasi dan well being, supaya tidak ada yang merasa dianaktirikan.

Sisi lain, soal milis perlu didesain sedemikian rupa, jangan menambah tumpukan e-mail dari berbagai milis yang diikuti. Misalnya saja membuat electronic conference supaya lebih fokus perbincangannya.

Soal education dan research, masing-masing kita tentukan objektifnya. Yang perlu diingat, harus ada terobosan. Usul saya, kita membaca kemungkinan cross-listing antara riset agenda dari institusi, misalnya universitas, dengan jejaring.

Ketiga, harus ada terobosan dalam metode dan prakteknya. Kita memerlukan kerja sama. Harus ada cara-cara baru dalam mengakses satu wilayah misalnya, agar tidak terjadi blunder.

Saya pernah mengelola satu konferensi, dan di situ orang cepat patah arang, karena 70% waktu digunakan untuk berbicara lebih banyak di ruang maya. Menurut saya, kita harus mulai bekerja lebih riil, jadi dunia maya hanya digunakan untuk komunikasi.

Diskusan 24:

Kita punya insight baru soal profesi-profesi kita. Saya belajar banyak di sini. Banyak hal yang dibicarakan seperti benang ruwet, namun ada banyak hal yang bisa kita ambil rumusannya. Kita coba cari cara untuk berkomunikasi.

Tema yang kita pilih hari ini sepertinya agak mencapai sasarannya. Dalam membicarakan persoalan sosial ini, mungkin kita bisa mendapat pelajaran untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas kita dalam memberi pelayanan di bidang mental health, yang tidak bisa kita dapat di bangku pendidikan formal kita.

Diskusan 25:

 

Forum ini harus bisa mengambil tindakan untuk Mama Aleta, bila tidak saat ini mungkin dalam waktu dekat. Apapun tindakannya. Yang bisa meringankan penderitaan teman kita di daerah konflik ini. Kita harus masuk ke akar rumput, tidak melayang-layang di udara. Kita harus memikirkan tindakan riil dalam waktu dekat yang tidak sampai satu bulan.

Diskusan 26:

 

Mama Aleta ini satu orang. Ada banyak orang yang terlibat dalam kasus yang hampir serupa di Indonesia ini. Kita harus meningkatkan kapasitas dan keinginan untuk mendengarkan dan mencermati kondisi orang di lapangan. Pendekatannya bisa secara sistemik. Kita harus menjaga komitmen ini. Mudah-mudahan bisa diimplementasikan dalam berbagai cara dikemudian hari.

 

Notulensi

The 1st Seminar Lecture Series & Round Table Discussion

“THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”

Jakarta, 26 Oktober 2007

 

 

 

Pembicara pertama

Sri Palupi

“Kemiskinan, Solidaritas dan Gangguan Jiwa”

 

Selama beberapa tahun, ada tiga wabah yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar. Ini berdasarkan berita setiap hari yang dicover oleh media. Ketiga wabah itu adalah:

  • Bencana alam, yang korbannya bisa mencapai ratusan ribu orang. Korban akibat bencana alam ini dapat menghimpun solidaritas masyarakat nasional dan internasional.
  • Busung lapar, korbannya cukup tinggi angkanya. Solidaritas terhadap wabah ini bisa dibilang kurang. Jika pada bencana kematiannya terjadi sekaligus, sementara busung lapar terjadi satu demi satu. Di Indonesia, 72% kabupaten mengalami kejadian busung lapar ini. Bahkan di Jakarta. Bila kita jumlahkan dari seluruh kabupaten itu mungkin sesungguhnya angka kematiannya jauh lebih tinggi dari bencana alam.
  • Bunuh diri di kalangan kaum miskin. Ini hampir setiap hari bisa ditemukan di media. Kadang kematian ini bisa menyentak masyarakat, karena keputusan dan proses kematiannya sangat mengerikan. Kasarnya pada kaum miskin ini ada tiga pilihan kemungkinan, yaitu kelaparan atau bunuh diri atau gila.

 

Berbicara soal kemiskinan, bisa dikatakan bahwa orang miskin punya dua pilihan dalam hidupnya, yaitu bunuh diri atau kelaparan. Mungkin bisa ditambah satu pilihan yaitu gila. Karena itu busung lapar dan kemiskinan diangkat dalam presentasi ini sebagai wabah kematian.

Beberapa contoh kasus bunuh diri yang dilakukan kaum miskin adalah:

  1. Tahun 2003: seorang anak SD bunuh diri karena tidak mampu membayar ekstra kurikuler.
  2. Tahun 2004: seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya.
  3. Tahun 2005: dua remaja bunuh diri karena tidak mampu bayar SPP.
  4. Tahun 2006: seorang ibu membakar dua anaknya; seorang ibu membunuh tiga anak kandungnya.
  5. Tahun 2007: seorang ibu bunuh diri bersama empat anaknya.

Kalau dilihat dari angka kasus bunuh diri yang dilaporkan pada polisi, di Jakarta tahun 2003 ada 62 kasus, tahun 2004 38 kasus, tahun 2005 68 kasus, tahun 2006 melonjak 101 kasus. Dilihat dari kasus bunuh diri ini, kita bisa lihat bahwa masyarakat sedang terganggu jiwanya. Ini terjadi karena ada problem di tingkat individu, keluarga, juga masyarakat. Kita bisa lihat sekarang ini kendornya hubungan sosial, benturan kebudayaan, meningkatnya nilai materialisme dan individualisme. Ini menyebabkan ketidakpedulian sebagian besar masyarakat terhadap penderitaan orang lain.

Di beberapa kabupaten yang terkena busung lapar cukup tinggi, saat diangkat ke permukaan malah timbul pertanyaan dari masyarakat kabupaten itu: “kenapa soal busung lapar diangkat? Padahal ‘kan sudah biasa”. Jadi, yang mengerikan bukan persoalan busung laparnya sendiri. Tetapi sikap komunitas bahkan pemerintah yang melihat bahwa ini merupakan hal biasa.

Selain problem di ketiga level individu, keluarga, dan masyarakat, yang mengindikasikan masyarakat sedang terganggu jiwanya, terjadi problem di tingkat keempat yang paling tinggi yaitu negara, dimana pemerintah gagal melaksanakan kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat.

Kondisi masyarakatyang terganggu jiwanya juga dapat diukur dengan cara lain. Misalnya dengan melihat gambaran prioritas alokasi pendapatan secara global pada tahun 1998 (lihat file presentasi untuk angka pasti). Terdapat perbandingan yang sangat tidak seimbang antara kebutuhan primer dan sekunder bahkan tersier. Jadi, secara sosial dan secara struktural masyarakat kita sedang terganggu jiwanya, jika melihat perbandingan angka-angka alokasi pendapatan itu.

Sekarang pertanyaannya, di Indonesia sendiri bagaimana? Kenapa Indonesia gagal mengatasi kemiskinan. Kita bisa melihat juga data-data alokasi pendapatan di Indonesia:

  1. APBN/APBD, yang pada kenyataannya pelit untuk kaum miskin, royal untuk kaum birokrasi dan boros untuk bayar hutang. Lihat saja perbandingan APBN 2005, di mana dana kompensasi sebesar 4,7 triliun harus dibagi untuk 15,5 juta warga miskin; sektor kesehatan 7,4 triliun; pendidikan 21,5 triliun; cicilan hutang 64 triliun. APBN 2006 dan 2007 jauh lebih tinggi lagi perbedaannya.
  2. Pendekatan penanggulangan kemiskinan bersifat ad hoc, parsial dan emerjensi. Tidak menyentuh persoalan-persoalan struktural.
  3. Sementara pemerintah belum mampu menyentuh hak-hak dasar kaum miskin, namun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan justru malah mempermiskin kaum miskin. Kita lihat seluruh dimensi pembangunan tidak berpihak pada kaum miskin, malah berusaha menyingkirkan kaum miskin. Di bidang tata ruang, pertanahan, perairan, pertambangan, pertanian, dan lain-lain. Di Jakarta saja, baru saja dibuat Perda Ketertiban Umum yang isinya menyingkirkan kaum miskin dari kota Jakarta.

 

Pada tataran global kita bisa melihat liberalisasi ekonomi yang menyebabkan kesenjangan kaya dan miskin yang begitu mencolok. 40% penduduk dunia hanya menguasai 5% pendapatan dunia. Sementara 10% orang terkaya dunia menguasai 54% pendapatan global. Ini akar struktural dari munculnya gangguan jiwa.

Kalau kita melihat di pedesaan dan perkotaan, ruang-ruang kehidupan itu banyak diwarnai oleh konflik antara pemodal dan kaum miskin. Di Jakarta saja tahun 2001-2005 terjadi 86 kasus penggusuran pemukiman miskin dan 74 PKL. Tahun 2006 meningkat menjadi 146 pemukiman miskin. Dari sini kita bisa memahami penyebab para PKL yang bunuh diri, karena memang setiap hari dikejar-kejar penggusuran.

Dulu orang miskin punya daya tahan yang sangat bagus. Bisa dikatakan begitu, karena pada masa konglomerat banyak yang stress, orang miskin punya kreativitas sendiri untuk bertahan hidup. Tapi sekarang, mekanisme survival untuk menghadapi kemiskinan itu sudah hancur. Dulu, dalam menghadapi penggusuran, ibu-ibu bisa menghadang dengan telanjang, anak-anak ditaruh di garis depan, sehingga penggusuran tidak terjadi. Namun sekarang strategi-strategi seperti itu sudah tidak mempan lagi. Perempuan atau anak-anak menghadang pasti tetap diterjang.

Perkembangan di Jakarta yang bisa kita lihat bersifat materialisme, di mana-mana pasar tradisional tergusur oleh pasar modern yang dibangun untuk memenuhi hasrat konsumerisme. Dampaknya, ruang pasar tradisional menurun, begitu juga ruang untuk pemukiman masyarakat marjinal. Banyak keluarga yang terpaksa tidur di tenda-tenda dan kolong-kolong jembatan akibat terjadinya penggusuran-penggusuran.

Itulah gambaran gangguan jiwa struktural yang terjadi baik lokal, regional, maupun nasional. Jadi bukan masyarakat miskin yang mengalami gangguan jiwa, namun semuanya.

 

Sesi Tanya Jawab

Pak Maman

Melihat dan mencermati penyampaian, pengambil kebijakan menderita gangguan jiwa. Lalu konsep apa yang dimunculkan supaya pengambil kebijakan tidak lagi mengalami gangguan jiwa?

Jawab:

Harus ada gerakan bersama untuk menyelesaikan gangguan jiwa itu. Karena bukan hanya pengambil kebijakan yang mengalami namun seluruh masyarakat juga mengalami persoalan itu. Harus ada gerakan bersama untuk menyatukan semua jiwa itu. Tak ada cara lain lagi. Harus ada kerja bersama untuk mengatasi gangguan jiwa bersama ini.

 

Gus Rosavarina

Sepertinya di sini masalah kemiskinan menjadi masalah pokok. Ini sulit diatasi. Orang miskin selalu diperlakukan sebagai objek yang marjinal. Upaya-upaya apa yang harus dilakukan untuk mengatasi ini. Upaya yang realistis apa harus dilakukan sehingga para pengambil keputusan ini bisa mengambil tindakan yang tepat.

Jawab:

Seperti yang sudah disampaikan, kita tidak bisa bergantung sepenuhnya pada hutang. Ketergantungan pada hutang sangat besar. Jadi, sesungguhnya jika kita ingin menghapus persoalan secara struktural kita harus berani menghapus hutang yang tidak sepenuhnya ditimbulkan oleh kita, sebagian besar di antaranya merupakan warisan sejarah. Itu persoalan struktural.

Kita tidak bisa sepenuhnya bertumpu pada pemerintah. Kembali pada persoalan gangguan jiwa, jika kita ingin menyelesaikannya berarti harus mulai dari yang waras. Kita harus mencoba melihat dan mencari terobosan mengatasi persoalan ini. Jika melihat tingkat gangguan jiwa mulai dari individu sampai pengambil kebijakan, artinya memang harus ada kerja bersama. Pada gerakan bersama, dengan berjejaring, di level manapun kita berada, ada satu titik di mana pasti ada sesuatu yang bisa dilakukan.

Misalnya saja, saat melakukan riset busung lapar di NTT, ternyata masyarakat memiliki potensi untuk menyelesaikan masalah itu sendiri. Celakanya, potensi-potensi masyarakat itu seringkali dihancurkan oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat dengan tidak mengenali potensi-potensi yang ada dalam masyarakat itu.

Ada banyak gerakan yang peduli untuk mengatasi masalah ini. Kita hanya harus membuka mata. Yang harus dilakukan adalah bagaimana cara menyambungkan pulau-pulau gerakan yang tersebar untuk membangun kepedulian masyarakat. Itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan struktural ini.

 

Tedi (RSHS)

PBB mencanangkan pada tahun 2015 kemiskinan harus turun 50%. Pemerintah juga sudah mencanangkan berbagai program berkaitan dengan ini termasuk di RS kami. Apa betul antara kemiskinan dan gangguan jiwa ini ada hubungan? Siapa tahu yang miskin karena sudah terbiasa miskin jadi merasa tidak ada masalah dengan itu.

 

Jawab:

Ada program internasional, millenium development goal, sebuah komitmen internasional untuk mengurangi masalah kemiskinan menjadi separuhnya pada tahun 2015. Persoalannya, Indonesia ini merupakan salah satu negara yang paling gagal dalam mewujudkan tujuan menghapuskan kemiskinan. Karena, salah satunya program untuk mencapai MDG tadi lebih banyak ditujukan untuk charity, seperti BLT, raskin, dll. Tapi, pada titik kebijakan strukturalnya lebih banyak meningkatkan kemiskinan atau mempermiskin orang dan menambah jumlah miskin.

Mengapa pemerintah sudah banyak berbuat tapi kurang hasilnya. Kita lihat saja contohnya, kasus busung lapar, sekian milyar sudah dikeluarkan tapi hasilnya masih kurang. Tidak mencapai 25% saja. Untuk meningkatkan gizinya saja tidak mampu. Persoalan busung lapar ini persoalan struktural.

Satu contoh lain, misalnya satu program yang sangat strategis dari pemerintah adalah program revitalisasi pos yandu. Namun, program ini sekarang mati, sekarang ini pos yandu bukan milik masysrakat. Yang dilakukan dalam revitalisasi pos yandu yang dilakukan adalah memperbanyak timbangan, mencetak banyak Kartu Menuju Sehat, merekrut banyak kader. Namun, ketika menimbang anak misalnya, setelah selesai ditimbang, si anak kembali ke rumah, dan selesai sudah. Kalaupun ada masalah, misalnya si anak busung lapar, si anak kekurang gizi, paling jauh diberi saran, lalu kembali ke rumah. Tidak ada penanganan masalah secara komunal. Dulu di NTT, jika di satu kampung terdapat satu anak yang busung lapar, satu kampung akan merasa malu. Saat ini perubahannya luar biasa. Bukan lagi masyarakat tidak merasa malu, namun masyarakat merasa sudah biasa dengan masalah itu. Jadi, kita lihat, sekarang ini tidak dibangun satu kebersamaan masyarakat untuk menyelesaikan satu kasus kemiskinan.

Dulu daya tahan orang miskin dalam menghadapi tekanan sangat luar biasa. Namun sekarang pertanyaannya mengapa orang miskin banyak yang bunuh diri. Artinya tekanan terhadap orang miskin sekarang ini jauh lebih besar daripada dulu. Karena bahkan anak-anak sudah merasa tertekan karena kemiskinan sampai memutuskan untuk bunuh diri. Fenomena gangguan jiwa masyarakat kita ini sudah begitu dalam.

 

Pandu (moderator):

Cukup banyak studi yang mengkaitkan kemiskinan dengan gangguan kesehatan jiwa. Apa yang disampaikan barusan menjadi pemikiran kita apakah betul hipotesis Sri Palupi bahwa orang miskin ini makin lama makin mendapat tekanan yang berat dan ruang yang sempit, tidak mempunyai opsi, sehingga tidak mampu bertahan.

Sedikit penjelasan tentang pertemuan ini, bahwa sebetulnya pertemuan ini ingin memperlihatkan pada teman-teman dari profesi psikolog dan psikiater bahwa sesungguhnya persoalan kesehatan jiwa ini juga menjadi perhatian dari teman-teman profesi lain.

Pertemuan ini digagas oleh satu LSM yang namanya Jejak Jiwa. Sudah lama tapi mati suri. Sekarang mencoba bergerak lagi. Jejak Jiwa ini gerakan kesehatan jiwa. Gerakan ini bukan satu organisasi, namun sebagai suatu jejaring dari banyak simpul yang saling berkomunikasi dan berkolaborasi.

Beberapa hal yang mendasari gerakan Jejak Jiwa adalah: Pertama, ada kegelisahan dari kita semua, bahwa masalah kesehatan jiwa adalah masalah besar dan masalah kita bersama.

Kedua, ada kesadaran bersama untuk membicarakan modal kekuatan bangsa dan segala potensinya. Kita belum organisir ini secara sistematik. Hampir semua pejabat kesehatan menyatakan kesehatan jiwa penting.

Ketiga, kita lumayan lambat belajar dibanding teman-teman lain, bahwa kesehatan jiwa multi-dimensi dan mewajibkan kepedulian di semua profesi disiplin. Ini merupakan masalah professional dan non-profesional.

Jejak Jiwa berangkat dari sini. Jejak Jiwa sudah menyelenggarakan beberapa pertemuan nasional mengenai kesehatan jiwa. Pada pertemuan nasional yang kedua dibicarakan soal investasi dalam kesehatan jiwa berkaitan dengan keberlanjutan bangsa. Pada pertemuan ketiga tahun 2003, kajiannya menegaskan kesehatan jiwa sebagai hak asasi manusia. Pada tahun 2006, Jejak Jiwa mencoba merumuskan apa saja yang harus dikoreksi. Apakah telah melakukan hal-hal yang semestinya dilakukan? Jejak Jiwa mencoba memetakan dan melist semua hal tersebut. Kemudian membuat agenda pembelajaran bersama, dengan mencoba mencari di luar dinding rumah sakit, dengan membangun ruang-ruang diskusi dan komunikasi. Dan kemudian mencoba membuat empat kuadran. Setiap yang tergabung dalam Jejak Jiwa merenungkan kapasitas dan potensi serta apa yang bisa dilakukan masing-masing dalam masing-masing kuadran. Ini belum sesuatu yang final.

Program Jejak Jiwa sampai tahun 2009 yang ingin dilakukan adalah: Pertama, seperti yang sekarang sedang dilakukan adalah internasional lecture series tentang kesehatan jiwa. Kedua, publikasi. Kita sudah menerbitkan Journal of Mental Health. Ketiga, research. Riset tentang kesehatan jiwa sangat sedikit yang sudah dilakukan. Di Indonesia agak jarang yang datanya kuat. Kita perlu memikirkan agenda-agenda riset pada berbagai level. Keempat, menurut catatan terakhir gerakan jiwa ini tidak begitu berkembang, kita perlu digembleng dalam hal leadership dan mental health. Baik yang bergerak di bidang pelayanan maupun training.

Jurnal motonya adalah inviting and provoking, mengundang dan memprovok untuk mengkaji ulang asumsi-asumsi yang sebetulnya merupakan mitos tentang kesehatan jiwa.

Hari ini tema yang dipilih adalah ”The Demand on Social Learning”. Ini untuk memperkaya pemikiran kita dengan membuka ruang sebanyak-banyaknya, untuk membuka sekat-sekat profesional dan institusi. Pada pertemuan ini akan ditentukan agenda-agenda untuk tahun depan.

 

Notulensi

The 1st Seminar Lecture Series & Round Table Discussion

“THE DEMAND ON SOCIAL LEARNING”

Jakarta, 26 Oktober 2007

 

 

 

Lecture 1: Thailand

Mr. Sompong Kirdsaeng

“The Association for Mentally Ill”

 

Perkenalan dari moderator:

Di Thailand perhatian terhadap kesehatan jiwa sangat tinggi. Ada dirjen kesehatan jiwa di sana. Sementara di Indonesia hanya ada direktur bina kesehatan jiwa. Raja Thailand memiliki perhatian yang besar pada psikososial. Mr. Sompong Kirdsaeng akan memberikan lecture tentang kegiatan yang dilakukannya untuk kesehatan jiwa di Thailand, sebagai wakil dari perkumpulan keluarga yang memiliki anggota dengan kesehatan jiwa terganggu. Jejak Jiwa sudah kehilangan hubungan dengan empat perkumpulan keluarga kesehatan jiwa di Indonesia, di antaranya yang berasal dari kota Pontianak dan Ciamis. Mr. Sompong ini adalah wakil dari perkumpulan keluarga di Thailand. Kelompok keluarga ini juga bekerja sebagai pressure agar negara menganggarkan dana yang memadai untuk masalah kesehatan jiwa.

 

Mr. Sompong Kirdsaeng: “The Association for Mentally Ill”

The Association for Mentally Ill telah bekerja selama 40 tahun untuk kesehatan jiwa. Presentasi dimulai dari pembentukan asosiasi ini. Dari pengalaman rumah sakit jiwa menangani para pasien, setelah dirawat dan dinyatakan sehat dan kembali ke rumah, ternyata sebagian besar mereka kembali ke rumah sakit jiwa. Sehingga kemudian para profesional menyusun program untuk melatih anggota keluarga pasien bagaimana cara merawat pasien.

Topik pertama dalam pelatihan adalah membuat orang normal memahami tentang kesehatan jiwa.

Topik kedua adalah bagaimana cara merawat pasien di rumah. Misalnya soal memberi obat secara rutin. Biasanya pasien tidak suka obat. Mereka akan membuangnya atau menyembunyikannya. Di sinilah letak tanggung jawab kerabat terdekatnya, yaitu untuk memastikan konsumsi obat oleh pasien secara teratur.

Topik lain adalah kerabatnya harus membawa pasien ke dokter untuk konsultasi.

Topik selanjutnya adalah tentang komunikasi antara kerabat dan pasien. Biasanya kerabat akan berpikir bahwa setelah sembuh pasien akan dapat hidup normal kembali. Namun pada kenyataannya, dalam beberapa tahap ada kemungkinan mereka tidak ingin berhubungan dengan masa lalunya yang mereka anggap buruk. Para kerabat mungkin tidak melihat ini. Di sinilah terjadi jurang.

Dia biasa bertanya pada pasien mengenai apakah mereka ingin tinggal di rumah sakit untuk perawatan. Jawabannya selalu mereka tetap ingin pulang ke rumah, karena tak ada tempat lebih baik selain rumah.

Jika anggota keluarga akan merawat pasien, mereka harus melakukan beberapa tugas dari yang mudah sampai yang sulit. Dan mendorong pasien untuk berlatih, membawa mereka ke berbagai kegiatan sosial, mengajak mereka untuk berbincang dan bertetangga.

Topik lain adalah soal hidup pasien. Bagaimana caranya membuat pasien paham soal stigmatisasi yang diberikan padanya.

Hal lain dalam training yang diberikan adalah bagaimana menangani media. Karena media biasanya memberitakan hal-hal mengenai kegilaan secara negatif.

Dari training itu, anggota keluarga membuat ’family club’ di setiap rumah sakit seperti misalnya ‘Kalyanamitr Club of Psychiatric Patient’ dari Srithunya Psychiatric hospital dan ’Tawan Mai Club’ dari Somdetchoaoraya Institute of Psychiatry.

Kedua kelompok itu kemudian berhubungan dan membuat program yang sangat penting. Kedua klub keluarga itu memperluas program dan membentuk klub-klub serupa di seluruh negeri di setiap RSJ. Klub-klub itu kemudian berkembang menjadi unik, dan membentuk perhimpunan yang telah diluncurkan pada 27 Maret 2003.

Anggota seluruh klub keluarga itu berkumpul sebulan sekali. Pertemuan-pertemuan itu menyemangati dan memotivasi mereka dalam merawat pasien. Di situ mereka dapat bertukar pengalaman dalam hal merawat pasien dan memperingan beban mereka.

Pengalaman Mr. Sompong merawat pasien di rumah merupakan beban yang sangat dan merupakan pekerjaan yang sangat sulit. Tapi pertemuan dengan keluarga lain sebulan sekalimemberinya motivasi untuk merawat istrinya yang adalah pasien sakit jiwa. Dalam pertemuan itu ada banyak keluarga yang harus merawat pasien sakit jiwa yang sangat parah sampai disebut psychotic. Bertukar pengalaman ini mendorong semangatnya untuk merawat istrinya di rumah.

Saat ini asosiasi ini punya jaringan 21 klub keluarga di seluruh negara. Bila ada pertanyaan tentang dukungan keuangan terhadap asosiasi ini, sesungguhnya asosiasi ini mengajukan proposal proyek kepada pemerintah. Ternyata pemerintah beranggapan bahwa proyek ini sangat berguna bagi keluarga dan pasien jiwa itu sendiri, sehingga pemerintah bersedia mendukung dana untuk pekerjaan klub ini.

Beberapa jaringan telah melakukan pekerjaan yang sangat bagus dan masyarakat mengetahui hal ini, sehingga kemudian mendapat donasi yang cukup besar dari masyarakat juga.

Masalahnya, beberapa jaringan tidak memiliki kemampuan untuk membuat proposal, sehingga kemudian asosiasi memberi bantuan kepada jaringan bagaimana cara membuat proposal untuk memperoleh dukungan dana.

Pengalaman Mr. Sompong setelah bergabung dengan klub ini, kondisi istrinya semakin membaik saat ini dalam perawatannya di rumah.

Beberapa tujuan asosiasi kesehatan jiwa ini selain yang telah diceritakan adalah:

  1. berkoordinasi dan berkerja sama dengan berbagai organisasi yang memiliki perhatian serupa, baik dalam negeri maupun luar negeri, untuk meningkatkan kapasitas dalam penanganan masalah kesehatan jiwa.
  2. membangun penerimaan sosial dari masyarakat terhadap pasien jiwa, dengan cara melatih anggota keluarga; meningkatkan kapasitas pasien yang menuju sehat dengan berbagai pelatihan keterampilan hidup; serta berpartisipasi dengan organisasi lain.
  3. Memperkuat organisasi, dengan cara memperbanyak klub keluarga di seluruh negeri; membangun komite sebagai simpul kerja; pertemuan komite di tingkat regional; membangun THAMI (Thai Alliance for Mentally Ill)

 

Lecture 2: Malaysia

Dr. Abdul Kadir Abu Bakar

 “Effective Community Treat”

 

Perkenalan dari moderator

Dr. Abdul Kadir adalah seorang psikiater dan menjabat sebagai ketua psikiater di RS. Aminah di Johor Baru. Dia telah berkerja sama dengan psikiater di Indonesia dalam beberapa program Mental Health. Dia menginovasi beberapa kegiatan di Kucing, yang situasinya sama dengan di Indonesia, bahwa seringkali kita menyalahkan segala sesuatu di luar lingkungan kita, padahal sesungguhnya the enemy is in here. Dia membuat sebuah terobosan di Kucing, untuk tidak selalu menyalahkan segala sesuatu di luar diri kita.

 

Dr. Abdul Kadir Abu Bakar: “Effective Community Treat”

Sebagai penjelasan terhadap istilah ‘perawatan komunitas yang efektif’ pada umumnya sebagian besar para pekerja yang bergelut di bidang kesehatan jiwa, termasuk para perawat di rumah sakit mempunyai pikiran bahwa perawatan bermula di RS. Padahal sebetulnya pasien itu memulai sakitnya di rumah atau di tempat lain semacam rumah. Sebagai orang yang diberi kelebihan dalam hal menangani pasien jiwa memang banyak yang berpikir dia dapat memberi perawatan terbaik. Namun sesungguhnya perawatan terbaik itu bisa diberikan di rumah.

Seluruh pendidikan kesehatan jiwa tidak dapat membuktikan bahwa perawatan yang diberikan di rumah sakit adalah perawatan terbaik. Bukti nyata yang ada malah memberitahu bahwa alternatif perawatan selain rumah sakit memberi perawatan terbaik bagi pasien, seperti misalnya perawatan pasien di pedesaan. Contoh lain yang nyata, di Aceh, dengan biaya yang sangat murah, seorang pasien jiwa memperoleh kemajuan yang baik hanya dengan berlayar menggunakan perahu nelayan.

Untuk menolong seseorang, yang paling penting dilakukan adalah melihat dan memahami orang tersebut, seperti apa kondisinya, sehingga kemudian akan dapat diketahui apa sesungguhnya yang dibutuhkannya.

Jadi, ketika ada orang yang datang untuk dirawat, orang tersebut membutuhkan pertolongan untuk kembali ke rumahnya, sehingga sesungguhnya perawatan untuk orang tersebut harus diberikan di rumahnya.

Dalam community care ini ada beberapa tahap perawatan, yaitu primary care, crisis care, dan continuing care. Dalam primary care, terdapat soal memperhatikan kondisi pasien, di mana dia musti dirawat, bagaimana cara merawat. Kemudian dalam crisis care diputuskan soal perlukah pasien dirawat di rumah sakit, karena sesungguhnya telah diyakini bahwa perawatan terbaik dapat diberikan di rumah. Kemudian dalam continuing care, ada persoalan evaluasi pasien yang telah dirawat, bagaimana cara perawatan lanjutannya, mengenai kesembuhan dan kemungkinan kambuh. Continuing care ini sangat penting untuk mengamati perkembangan pasien jiwa.

Primary care ini membutuhkan banyak dukungan dari puskesmas dan komunitas. Dr. Abdul Kadir, sebagai seorang yang memiliki wewenang penuh dalam bidang kesehatan jiwa di rumah sakitnya dapat mengembangkan model perawatan sendiri.

Ketika seorang pasien datang, dia akan memeriksa seberapa jauh gangguan kesehatan jiwa yang diderita pasiennya dan memutuskan apakah pasien tersebut perlu dirawat di rumah sakit atau di rumah. Dia juga akan memeriksa keluarga pasien, siapa yang dapat merawat di rumah dan berapa orang serta bagaimana kemampuan keuangan keluarganya.

Masalah utama yang sering muncul dalam soal perawatan gangguan kesehatan jiwa di rumah sakit adalah: pertama, kurangnya follow-up yang memadai. Banyak direktur RSJ yang tidak pernah memperhatikan data seperti jumlah pasien yang telah keluar dan jumlah yang kembali ke RSJ, serta kemungkinan kembalinya pasien ke RSJ. Semula di RS kurangnya kualitas penanganan terhadap pasien alasannya karena kurangnya staff di RS, kurangnya perlengkapan, keluarga yang kurang perhatian, dan mungkin dokternya yang kurang ahli.

Dengan berbagai keluhan seperti itu jalan keluar yang harus dilakukan adalah mengeluarkan seluruh pasien yang ada dari rumah sakit. Dan untuk ini harus dibuat satu sistem yang efektif, sehingga kemudian pasien tidak akan kembali ke rumah sakit setelah dikembalikan ke rumah. Diawali dengan cara mengelompokkan pasien, karena tidak setiap pasien membutuhkan perawatan secara penuh. Dengan mengelompokkan pasien, akan diketahui perawatan seperti apa yang dibutuhkan setiap pasien. Ada tiga level pengelompokan pasien. Level ketiga untuk pasien yang paling mudah dirawat karena didiagnosa paling stabil untuk jangka waktu tertentu. Level kedua untuk yang membutuhkan konsultasi intensif. Sementara level pertama untuk pasien yang memiliki kemungkinan kembali ke rumah sakit setelah dinyatakan sembuh dan tidak memiliki orang-orang terdekat untuk merawatnya.

Dengan pendekatan Assertive Community Treatment (ACT), terbukti melalui data-data (dalam file presentasi) bahwa kemajuan yang diperoleh pasien lebih baik. Setiap studi yang mempelajari ACT membuktikan bahwa pendekatan ini lebih baik hasilnya.

Dalam ACT yang dibutuhkan adalah tim, yang meskipun tidak banyak jumlahnya namun masing-masing anggota tim memiliki tanggung jawab dan mau menjalankannya. Di awal, Dr. Abdul Kadir menjalankan pendekatan ini sendirian untuk 110 pasien. Di rumah sakit yang dilakukan adalah mendiagnosa dan menentukan pengobatan medis yang dibutuhkan oleh pasien. Selanjutnya, pasien dirawat di rumah dan yang perlu dia lakukan adalah memastikan keberlanjutan perawatan, memberi bantuan secara praktis, membantu menangani dampak sampingannya, membantu menumbuhkan keterampilan komunitas dalam menangani. Pada umumnya, pengobatan medis yang dijalani pasien hanya diperlukan untuk waktu dua tahun, selanjutnya pengobatan medis pasien dapat diserahkan kepada Puskesmas.

Dalam pendekatan ACT ini yang menonjol adalah soal pelayanan yang proaktif terhadap pasien. Tim perawat selalu mengadakan asesmen dalam pelayanan proaktifnya, sehingga kebutuhan perawatan terhadap pasien akan selalu disesuaikan dengan hasil asesmen yang dilakukan. Yang termasuk ke dalam keputusan perawatan terhadap pasien ini adalah pengobatan medis yang diterima pasien, dukungan yang bisa didapat pasien, keikutsertaan komunitas yang dapat diperoleh pasien, kondisi ekonomi keluarga pasien, dan bagaimana cara bekerja dengan keluarga yang merawat pasien.

Hingga saat ini menurut data pasien yang parah jumlahnya berkurang hingga 60% di Malaysia. Sesungguhnya, secara medis, obat-obatan yang digunakan tidak berbeda dengan obat-obatan yang biasa diberikan di negara lain. Yang berbeda adalah cara perawatannya. Dari segi jumlah staff RSJ juga tidak bertambah, bahkan kenyataannya malah berkurang. Karena, terapi lebih banyak tidak dilakukan di RS, sehingga banyak staff yang ditransfer untuk bekerja di luar RS. RSJ juga membina para terapis yang dipekerjakan untuk merawat di rumah.


Lecture 3: Filipina

Brother Victor Manuel & Miss Violetta

“Congregation of the Brothers of Charity:

Holy Face Rehabilitation Center for Mental Health”

 

Brother Victor Manuel

Lembaga yang bekerja untuk kesehatan jiwa ini tidak berasal dari rumah sakit. Namun demikian, kegiatannya yang utama adalah rehabilitasi untuk pasien gangguan kesehatan jiwa dengan program berbasis komunitas.

Pusat lembaga ini berlokasi di bagian utara Filipina. Tim yang bekerja ke lapangan harus bepergian dari pulau ke pulau yang menghabiskan waktu dan tenaga yang luar biasa, karena sulitnya transportasi. Kehidupan orang-orang yang berdiam di pulau-pulau ini sangat sulit, dari segi ekonomi mereka sangat miskin, air sulit didapat, dan listrik pun tak ada.

Para penderita gangguan kesehatan jiwa di pulau-pulau ini diperlakukan sangat tidak manusiawi. Beberapa di antara mereka dikurung. Sehingga, sebagian besar dari para penderita ini bukan hanya sakit secara mental, namun mereka juga mengalami sakit secara fisik.

Pusat rehabilitasi ini bekerja dengan cara mengorganisir family support group, dan sebagian besar pekerjaan dilakukan dengan cara home visit. Pusat rehabilitasi ini selalu menegaskan kepada masyarakat yang dikunjunginya bahwa perawatan yang baik terhadap penderita bukan merupakan tanggung jawab pusat rehabilitasi, namun merupakan tanggung jawab keluarga dan komunitas sekitar penderita.

Dalam home visit, kegiatan yang dilakukan adalah mem-follow-up keluarga yang sangat jarang atau bahkan tidak melakukan konsultasi lagi. Karena berbagai alasan, termasuk kondisi kehidupan dan pendidikan yang kurang baik, keluarga tidak melakukan konsultasi mengenai perkembangan penderita. Selain itu, pusat rehabilitasi juga mengadakan berbagai program pencegahan yang mungkin terhadap masyarakat akan gangguan kesehatan jiwa, misalnya dengan pelayanan pendidikan mengenai kesehatan jiwa, dan juga memberikan konsultasi terhadap pengobatan dan perawatan kesehatan jiwa secara medis.

Dalam kegiatan pencegahan, pusat rehabilitas melakukan screening terhadap klien yang potensial mengalami gangguan kesehatan jiwa. Caranya adalah mengorientasi komunitas yang didatangi terhadap kemungkinan individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Selain itu, setiap hari Rabu, tim lapangan selalu meluangkan waktu untuk mengidentifikasi penderita gangguan mental yang terbuang dan mencari keluarganya.

Dalam merawat penderita gangguan jiwa, pusat rehabilitasi ini sebelumnya juga mengevaluasi kondisi sosial ekonomi masing-masing klien. Mereka memiliki tiga kelas klien, yaitu kelompok yang mampu membiayai perawatan medis, kelompok yang hanya mampu membayar setengah dari keseluruhan biaya, dan kelompok yang tak mampu sama sekali, sehingga harus pelayanan kemudian harus diberikan secara cuma-cuma.

Pusat rehabilitasi dalam aktivitasnya telah membentuk empat rehabilitasi berbasis komunitas, yaitu di: 1) Alcala, Daraga; 2) Clustered Barangay of Tobacco, Cluster 1 (Baranghawon, Cobo, Cabangan & Basud); 3) Salvacion, Sto. Domingo; 4) Bogñabong, Tabaco City.

Sementara untuk jaringan pemerintah dan stakeholder telah terjalin di beberapa wilayah, yaitu: Tabaco City, Malinao, Libon, District Hospital, dan Don Susano Memorial Mental Hospital.

Untuk membangun rehabilitasi berbasis komunitas yang dibutuhkan adalah kelompok kecil klien yang tinggal dalam komunitas yang sama, ada orang yang karena perhatiannya yang tinggi untuk menjadi pimpinan kelompok ini, dan ada dukungan dari pemerintahan lokal dan komitmen anggota keluarga.

Dalam komunitas pusat rehabilitasi melakukan pengorganisiran terhadap kelompok pendukung, yang terdiri dari keluarga dan tokoh komunitas untuk bertemu satu bulan sekali. Pertemuan bulanan ini dilakukan untuk memberi pendidikan tentang kesehatan jiwa, berdiskusi antar keluarga penderita dan memberi berbagai pelatihan untuk keterampilan hidup seperti kerajinan tangan atau pertanian.

Dalam bidang kampanye, pusat rehabilitasi menyebarkan berbagai brosur dan pamflet, serta melakukan berbagai pelatihan dan seminar bagi para pekerja kesehatan Barangay.

 

Miss Violetta D. Bayatto

Presentasinya berkisar mengenai pengalaman dari perspektif aktivitasnya yang memberi pendidikan publik mengenai kesehatan jiwa.

Bermula dari ulasan mengenai kerentanan bencana alam negara Filipina yang ternyata berdampak pada psikososial masyarakatnya. Sejarah masyarakatnya juga mencatat penurunan ekonomi masyarakatnya sampai saat ini.

Selama lebih dari 50 tahun pasien gangguan jiwa dirawat di RS. Dan tak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat umum telah ada stigmatisasi mengenai penderita gangguan jiwa yang negatif.

Selain pekerjaan-pekerjaan merawat penderita secara langsung, muncul kebutuhan lain untuk mendidik publik mengenai kesehatan mental yang sesungguhnya. Ini dimulai dengan melakukan pengamatan di lapangan secara langsung. Miss Violetta bekerja dengan menggunakan kendaraan berkeliling jalanan. Kendaraan itu memiliki tulisan ”Philipine Mental Health Institution”.

Kesempatan berkendaraan ini dipergunakan untuk melihat secara langsung efek kendaraan berlabel mental health instituion di jalanan. Dari dalam kendaraan dapat dilihat secara langsung bagaimana reaksi umum yang diperlihatkan masyarakat terhadap kendaraan dan para penumpangnya. Dan sebagian besar membuat joke dan tersenyum mentertawakan. Itu di perkotaan.

Sementara, di daerah hutan, ketika bekerja di sana tahun 2002, dengan kendaraan berlabel ”Pradet Psychosocial Rehabilitation” reaksi yang didapat dari masyarakat cukup berbeda. Orang-orang yang berpapasan akan melambaikan tangan dan senang melihat kendaraan itu.

Dari pengalaman itu, diambil asumsi mengenai istilah yang digunakan mengenai kesehatan jiwa. Entah karena perbedaan istilah mental health dan psychosocial, atau karena ada pergeseran paradigma dari istilah psychosocial. Atau kemungkinan penekanan yang berlebihan terhadap gangguan jiwa dari istilah mental yang digunakan. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa kata-kata dan gambaran-gambaran benar-benar berarti dalam memberi pemahaman, terutama terhadap publik.

Simpulan yang dapat diambil dari pengalaman dalam pendidikan kepada publik mengenai kesehatan jiwa ini bahwa ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam beraktivitas ke depannya, yaitu: a) agar tidak terfokus pada diagnosis dan pendekatan biomedis; b) harus berurusan dengan kerumitan penyebab psikososial dan bukan dengan sumber daya; c) belajar menggeser paradigma dan prasangka; d) merangkul kelompok yang terdiskriminasi; e) berhadapan langsung dengan pelanggaran terhadap HAM.

Pesannya di sini adalah: “Kita dapat bekerja bersama”.

 

Sesi Tanya Jawab

Tanya:

Bagi orang yang profesional dalam kesehatan bagaimana berubah dari biomedical ke psikososial. Kita perlu bekerja bersama sebagai partner yang setara. Model Abdul Kadir, adalah model psikiatris, bagaimana visualisasi interaksi keluarga?

 

Jawab:

Model biomedis telah mencapai batasnya, jadi institusi kesehatan jiwa ini telah melewatinya. Ada kebutuhan selanjutnya untuk mengikutkan keluarga dan komunitas. Di sini yang dibuka adalah manajemen oleh keluarga-keluarga itu. Mereka mengatur pertemuan rutinnya. Di sini juga dibuat jejaring dengan media elektronik untuk menyiarkan kegiatan-kegiatan para keluarga ini. Keluarga-keluarga ini berorganisasi di luar RS dengan mendapat dukungan secara profesional dari RS. Dengan cara berorganisasi seperti itu, orang-orang baru akan memperoleh pengalaman dari keluarga lama.

Berkaitan dengan pengobatan medis, begitu ada obat baru bisa digunakan secepatnya. Namun pengobatan ini juga bergantung pada kecocokan penderita. Pengalaman-pengalaman mengenai obat-obatan yang digunakan ini misalnya bisa saling dipertukarkan dalam kelompok keluarga. Jadi sesungguhnya pengobatan medis memiliki peran yang kecil dalam perawatan penderita ini.

Pelatihan-pelatihan diberikan pada orang-orang yang akan memberikan konseling pada keluarga-keluarga pasien. Pada umumnya pelatihan berkisar mengenai bagaimana mendengarkan orang, memberi nasehat, dan mengajukan alternatif penyelesaian masalah. Orang-orang yang memberi konseling ini bisa berasal dari berbagai profesi. Bisa guru, pendeta, dll. Mereka ini akan bebas bekerja sendiri.

 

Moderator:

Ada perubahan yang tidak terlampau drastis di kalangan medis dan psikiatri yang mulai mengkritisi perawatan biomedis. Di wilayah bencana perawatan ini dihindari. Dalam Jejak Jiwa, masing-masing individu diakomodir dan berdialog secara dinamis untuk mendapat wawasan yang lebih baik. Di sini dilakukan reformasi terhadap mindset agar mampu melihat masalah kesehatan jiwa dalam arti yang sangat luas. Di sini akan terus diciptakan ruang dalam forum apapun.

Jejak Jiwa melakukan updating pada konsep psikiatri. Bahwa perawatan tidak selalu harus dilakukan di RS, tapi juga di luar. Ini PR yang  besar. Namun ke depan Jejak Jiwa akan bekerja dengan langkah-langkah kecil.

Ada kemungkinan untuk mengajukan Askeskin (asuransi kesehatan untuk orang miskin). Namun ini harus dicermati, karena skema Askeskin ini sangat generik, yang artinya hanya mencakup pengobatan medis saja. Sementara perawatan mencakup lebih banyak proses, seperti psikoterapi dan home visit, dan porsinya justru jauh lebih besar. Jadi, akan muncul pertanyaan apakah aksesibilitas dapat dicapai oleh skema ini, dan apakah memadai?

Dan dalam lecture juga dijelaskan soal mindset yang berkenaan dengan terminologi. Ada contoh kasus di Jepang yang berupaya mengganti schizophrenia dengan istilah lain, supaya lebih soft.

Pertemuan akan dilanjutkan dengan diskusi secara bebas, sehingga begitu selesai akan ada beberapa kesepakatan dan inisiatif agenda bersama.

 

Dr. Abdul Kadir:

Psikososial ini sangat penting dalam kesehatan jiwa. Kebanyakan service provider mental health bermarkas di RS. Dan para service provider ini kuasanya sangat mutlak. Menurut saya, ini perlu dikurangi. Kita perlu mengatakan bahwa RSJ tidak penting, dan sebaiknya dihilangkan saja. Dan kalaupun RSJ tetap ada, perlu dilakukan manajemen pekerjaan, sehingga tidak akan pernah ada istilah kekurangan pekerja kesehatan. Kalaupun seorang dokter kesehatan jiwa tidak punya asisten, semua pekerjaannya bisa dan harus bisa dikerjakan dan diselesaikan.

 

Moderator:

Terapi dapat dilakukan oleh siapapun dengan kapasitas apapun. Secara teoritis hal ini mungkin tidak akan nyambung dengan profesi kedokteran. Namun secara komunitas, hal ini bisa dilakukan sesuai dengan kondisi yang melingkupinya.

 

(Notulis: E.R./L.)

 

Mental Health as the Capital of Nation’s Strength

Having sense of belonging as the part of Indonesia nation, the originators of National Mental Health Convention (KNKJ) desire to always awaken people’s awareness about the importance of taking care of national mental health as a social capital for the sustainability of a mentally healthy nation. The organizing of KNKJ-I in 2001 in Malang and KNKJ-II in 2003 in Jakarta had created a dialogical arena for cross-professional and cross-disciplinal agents who care about mental health problem in this country. The Convention systematically has been doing discussions, initialized by the exposition about the real condition of Indonesia, the diagnosis from a variety of point of views, and together finds out the solutions. Furthermore it is understood that the mental health problems have a wide range spectrum begin from of children, adults, and families to societies as well as nation problems.

KNKJ-II in 2003, with the topic of “Our Nation at Risk”, had a backdrop of an exposition of national situations that concerns us greatly for those tend to significantly risk the survival and sustainability of the Indonesia we love. Analogue with the critical periods in the developmental stage of every human life, our nation is now in a critical phase of becoming Indonesia. It turned out that the its histories present us with conflicts and violence. The social cost was not calculated, and the nation and character building was ignored.

Living as a nation in its essence is a learning and dialogical process in a we-ness atmosphere focused on building the bio-psycho-social-cultural-spiritually healthy folks. From the exposition of the speakers, the organizing of KNKJ-II had given us enlightenments about the national collective consciousness and its role in understanding what we have done to ourselves also with a variety of symptoms, consequences, and implications.

In the social level of national life, cultural crises caused by coercion from the strong to the weak, both globally and locally, and the lack of leading figure or cultural exemplar to be consumed by the folks’ soul, are parts of symptoms which influences our integration process as a nation and makes the process of becoming Indonesia so complicated. Nevertheless, in the local level, it is observable that there are alternatives of solutions which is even though still in explorative level, they needs to be given opportunities to grow further. These local elements’ roles are worth appreciating and developing.
Conflicts and violent faces performed in a horrible escalation, and endless disasters striking this nation, in one side destructs the substructure of societal life, but in another side waking up the awareness about the essence of living as a nation and also building the strong social solidarities.
In economical aspect, KNKJ-II contributed to us by giving awareness that the economic damages resulted from loss of productivity times caused by mental health disorders in 1997 is equal to 31.9 trillion rupiahs. This number indicates that mental health disorder problems is factually containing very significant economical problems. This burden can be continuously heavier particularly if there are no immediate adequate investment to cope with the mental health problems.

Because of that, even though “our nation at risk” has been an affirmative statement, but the Convention believes that the nation spirit can revive. This belief has to be acknowledged with an awareness that to revive a nation spirit is a big work which can not be well done by only one groups/people or one expertise. KNKJ-I and KNKJ-II had started by systematically reforming the ways of thinking and acting with the participation of a variety of people who care about societal mental health through dialogue and communication network which have to be always constructed and developed. All of these ideas should make a “movement” which can significantly contribute to nation building. The leading thread of ideas rolled by “Indonesia Mental Health Network” needs continuing.

The next step is to realize some acts and programs emerged from the constructed network in accordance with local and social needs. Inventorying what have been designed and done by KNKJ-I, KNKJ-II and the network, can be mapped into four alternative areas. These four quadrants will be the guidance to ensure the sustainability of this “movement”.

In this concept of “movement” realized into networks, every people can proactively play his/her/their roles chosen by himself/herself/themselves in those four quadrants. All nodes in this our network will develop activities for himself/herself/themselves according to his/her/their competence. Communication system will be built in this network, initialized by simply providing “JejakJiwa” (Mental Health Network) site <http://www.jejakjiwa.org> which temporary functions as pooling and clearing-house facility from a wide range of information and communication needed.

KNKJ-III is held in the midst of the natural disaster suffered by the Yogyakarta and Central Java. Once more we are reminded by God to reflect the essence of life, humanity, and nationality. Once more we are exposed by the suffering of our brothers and sisters, by the messed-up disaster management, by the narrow-minded behaviour of the opportunists, but also we are exposed by heroic stories, solidarity building which is still pure based on love that gives us optimisme that we as nation still exist and will keep on exist. Those disasters should also remind us to continue “JejakJiwa” (Mental Health Network), and also re-affirm our commitment to keep going.

Mental health problems and public services designed to cope with them can be compared to the peak of an iceberg. There is a need of good intention, seriousness, and sustainable energy driving to understand the connections between the fulfillment or lack of mental health conditions with the social and institutional practices as well as the other environmental factors. For the large scale and complexity of social process of Indonesia society, suffice it to say that the handling of mental health is on of the big challenges of the management of people’s safety, welfare and wellbeingness.

Following-up the KNKJ-I and KNKJ-II initiatives in grabbing public attention to those urgent problems, it is important to take initiation of creating a long term mental health campaign model. Principally, this campaign is based on a circle of activities consisting of for areas of intervention which organically connect one another.

 

THE 1ST ANNUAL INTERNATIONAL SEMINAR & LECTURE SERIES

AND

LAUNCHING – INDONESIAN JOURNAL OF MENTAL HEALTH

TEMA

DEMAND ON SOCIAL LEARNING

Agenda advokasi Jejak Jiwa untuk kemajuan intervensi urusan kesehatan jiwa mensyaratkan kebutuhan para pemilik kepentingan utama untuk memahami dengan lebih baik duduk-perkara masalah kesehatan jiwa, sebagai bagian dari gagasan tentang “kualitas hidup” pada skala diri dan masyarakat, Rintisan awal gerakan juga menunjukkan beroperasinya dua asumsi lainnya:

Pertama, bahwa syarat kesepakatan belajar dalam proses social learning berskala makro terpenuhi. Artinya, institusi yang berkepentingan — kantor-kantor pengurus negara, universitas, rumah sakit jiwa, industri farmakoterapi, praktisi pelayanan kesehatan jiwa, dan konsumen pelayanan perawatan kesehatan jiwa — terbuka untuk perubahan dan mampu berubah.

Kedua, tersedia cukup sumber tenaga (a.l. pelajar, peneliti, dana, organisasi, jaringan kerja, sumber informasi) untuk menjaga kelangsungan proses belajar. Seperti kita tahu dengan baik, kedua asumsi di atas layak didiskusikan dengan tajam.

Salah satu sumber pengubah faktor-resiko di Indonesia adalah proses-proses sosial yang jauh lebih rumit daripada mekanisme dan bangunan institusi-institusi pengelolaannya. Tingginya keragaman  representasi sosial di kepulauan telah terbukti rentan terhadap konflik sosial. Sumber-sumber pemicu lainnya a.l. adalah meluasnya wilayah distress yang berkaitan dengan ekonomi (seperti lapangan kerja luar-negeri), situasi lokal (upah rendah, pengangguran terselubung, rendahnya nilai-tukar produksi pedesaan), serta ruang hidup tanpa jaminan keselamatan dan perlindungan bagi para pengungsi ekonomik dari desa. Program-program dan riset macam apakah yang responsif terhadap keadaan tersebut?

Pertimbangan Tentang Garis Depan Kemajuan Profesi Serta Wilayah-Wilayah Temu Antar Disiplin

Pertama, terbaca dengan cukup jelas pengaruh dari dan hubungan pendek dengan tradisi-tradisi keilmuan lain baik dalam ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu “keras” di dalam agenda, thema dan soal-soal riset yang mengemuka dalam setengah abad ini. Sebagai salah satu konsekuensinya, telah berkembang pengayaan wacana, metodologi, aksiologi. Sebagai ilustrasi, obyek telaah di kedua disiplin (psikiatri dan psikologi) telah mulai menggeser garis depan perbedaan prinsipil di antara keduanya, dari dikotomi epistemologis yang bersifat discrete menjadi sebuah polaritas. Judul-judul jurnal yang berkembang subur, misalnya, menunjukkan polaritas baru tersebut: “psikiatri sosial” v.a.v. “psikologi sosial”; “culture, medicine and psychiatry”; “mental health policy and economics”; “theory of social behaviour”; “psychological anthropology”. Pada tataran thema, juga teramati gejala internasionalisasi riset serta respons cepat dari kedua disiplin pada masalah-masalah sosial genting yang mengemuka baik di metropol negara-negara industri maupun negara-negara dunia ketiga di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Dengan kata lain, kedua disiplin tengah “membarui diri” dengan memberikan perhatian penuh pada rentang rantai kausalitas dari gejala kejiwaan serta resiprokalitasnya.

Kedua, mengingat proses “pendewasaan” intelektual yang tengah berlangsung tersebut, perlu dicoba diadakan pemetaan wilayah-wilayah potensial dalam kolaborasi keilmuan, yang paling relevan dengan segenap setting sosial dan kelembagaan tersebut di atas, dengan sebuah heuristics yang tidak deterministis, serta menciptakan ruang bagi kemungkinan kolaborasi dan pengayaan pada tingkat keilmuan.

Ketiga, pada tataran praktek sosial dan institusional, juga berkembang perhatian lebih serius pada kedudukan etis dari rantai intervensi di kedua profesi kunci tersebut. Hal ini a.l. terlihat dalam implikasi etis penerapan profesional system pengetahuan tentang perilaku, serta dari tradisi penanganan gejala gangguan kejiwaan sejak deteksi dan diagnosis sampai dengan psikoterapi dan farmakoterapi, mencakup Konsensus subyek konsumen pelayanan kesehatan jiwa atas seluruh rantai tindakan terhadap dirinya, perbedaan definisi dan penerimaan terhadap kondisi gangguan psikososial/kejiwaan.

Keempat dan terakhir, pemahaman baru tentang sirkuit-sirkuit pengaruh di antara diri/pribadi dengan masyarakat, seperti dalam tradisi pemikiran Moscovici tentang representasi sosial, telah mendudukkan persoalan “kesehatan jiwa” dalam peta-peta proses sosial yang jauh lebih luas dari domain intervensi ilmu-ilmu perilaku atau psikiatri.

 

GERAKAN KESEHATAN JIWA

JEJARING KOMUNIKASI KESEHATAN JIWA

 

Latar belakang

 

Kegelisahan kita karena mengetahui adanya masalah besar tentang kesehatan jiwa di masyarakat kita

Kesadaran bersama dari berbagai pihak mengenai pentingnya keswa sebagai modal kekuatan bangsa

Kesadaran bahwa masalah keswa adalah masalah multidimensi yang seharusnya menjadi kepedulian berbagai kalangan profesi dan disiplin – bukan hanya urusan psikiater & psikolog saja

Penyelenggaraan konvensi nasional kesehatan jiwa (KNKJ) sebagai ajang dialog

 

KONVENSI NASIONAL KESEHATAN JIWA

KNKJ – I (Malang, 2001): Merupakan ajang dialog antar pelaku lintas profesi & disiplin yang menegaskan pendekatan dan pandangan luas tentang kesehatan jiwa. Disepakati untuk meletakkan dasar-dasar program aksi bersama.

KNKJ – II (Jakarta, 2003): Dengan tema besar “OUR NATION AT RISK” berbicara tentang ‘jiwa bangsa’, mengidentifikasi, mendiagnose dan mencari serta menyusun kesepakatan pembuatan ‘road map’ penanganan masalah kesehatan jiwa bangsa.

KNKJ – III (Jakarta, 2006): Menegaskan tentang Kesehatan Jiwa sebagai hak azasi manusia serta me “launch” road map dalam bentuk 4 Kuadran Intervensi kesehatan Jiwa

 

MELIHAT KE DEPAN

KNKJ-I,  KNKJ-II  dan KNKJ-III telah  memulai dengan  mengubah  cara  berpikir  dan  bertindak  secara  sistemik  oleh  berbagai  kalangan  yang  peduli  pada  kesehatan  jiwa  masyarakat  melalui  dialog  dan jejaring komunikasi yang harus selalu dibangun dan dikembangkan.

Segenap pemikiran ini seharusnya menjadi ‘gerakan’ yang dapat secara nyata memberikan sumbangan bagi pembangunan bangsa ini

 

 

Jejak Jiwa Mengintroduksi 4 Kuadran Intervensi Keswa Jangka Panjang

 

Wilayah intervensi 1 (Kuadran 1)

Pengembangan Pengetahuan Kritis tentang Kesehatan Jiwa

 

Wilayah intervensi 2 (Kuadran 2)

Pemetaan dan Penilaian Berkala dari Kondisi-Kondisi Yang Berpengaruh pada Persoalan Kesehatan Jiwa

 

Wilayah intervensi 3 (Kuadran 3)

Tindakan Kolaboratif Strategis

 

Wilayah intervensi 4 (Kuadran 4)

Pengembangan Sistem Dukungan Publik Untuk Penanganan Persoalan Kesehatan Jiwa

 

KUADRAN 1

WILAYAH INTERVENSI 1

Pengembangan Pengetahuan Kritis tentang Kesehatan Jiwa, terdiri dari:

  1. Pengembangan epistemologi kesehatan jiwa yang berwacana luas dan dialogis
  2. Pengembangan kerangka analitik pluri-disipliner untuk kesehatan jiwa
  3. Pengembangan sebuah kerangka pokok ketentuan publik untuk menangani persoalan kesehatan jiwa
  4. Pengembangan tipologi terapan dari kesatuan-kesatuan sosio-spasial genting untuk penanganan kesehatan jiwa

 

KUADRAN 2

WILAYAH INTERVENSI 2

Pemetaan dan Penilaian Berkala dari Kondisi-Kondisi Yang Berpengaruh pada Persoalan Kesehatan Jiwa

  1. Menemu-kenali bentuk-bentuk praktik-institusional utama yang ikut mempengaruhi syarat-syarat kesehatan jiwa
  2. Menemu-kenali bentuk-bentuk praktik-diskursus utama yang turut membentuk wacana tentang kesehatan jiwa
  3. Penilaian kritis dari bentuk-bentuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa yang ada dan yang dibutuhkan

 

KUADRAN 3

WILAYAH INTERVENSI 3

Tindakan Kolaboratif Strategis

  1. Kampanye legislasi sosial untuk pengembangan kerangka ketentuan publik yang menyangkut kesehatan jiwa
  2. Kampanye re-alokasi sumber-sumber daya publik untuk menangani persoalan kesehatan jiwa
  3. Penilaian kritis terhadap bentuk-bentuk pengadaan pelayanan kesehatan jiwa

 

KUADRAN 4

WILAYAH INTERVENSI 4

Pengembangan Sistem Dukungan Publik Untuk Penanganan Persoalan Kesehatan Jiwa

  1. Pembangunan dan pengelolaan infrastruktur-sosial kesehatan jiwa
  2. Pemajuan capaian keilmuan dan profesional dalam urusan kesehatan jiwa
  3. Kampanye untuk menggalang dana abadi bagi penanganan kesehatan jiwa jangka panjang
  4. Pengembangan organisasi dan jaringan pendukung untuk penerapan intervensi di wilayah-wilayah intervensi jangka panjang tersebut di atas

 

JEJAK JIWA
Round Table Discussion
Jakarta, 19 November 2008

Latar Belakang RTD November 2008

  • Perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di negeri ini, baik disebabkan dinamika internal dalam negeri maupun akibat gejolak dunia yang luar biasa, mau tidak mau mempengaruhi kondisi kejiwaan dan perilaku masyarakat kita.
  • Perlu kiranya saat ini kita semua, terutama yang peduli dan percaya terhadap kesehatan jiwa sebagai faktor penting bagi terbangunnya bangsa yang berbudaya, mandiri, dan bermartabat melihat secara kritis apa yang terjadi, apa yang telah, dan yang perlu dilakukan.

 

Gerakan Kesehatan Jiwa

Gerakan Kesehatan Jiwa: Latar Belakang

  • Kegelisahan kita karena mengetahui adanya masalah besar tentang kesehatan jiwa di masyarakat kita
  • Kesadaran bersama dari berbagai pihak mengenai pentingnya KESWA sebagai modal kekuatan bangsa
  • Kesadaran bahwa masalah KESWA adalah masalah multidimensi yang seharusnya menjadi kepedulian berbagai berbagai kalangan profesi dan disiplin – bukan hanya urusan psikiater dan psikolog saja
  • Penyelenggaraan Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa (KNKJ) sebagai ajang dialog

 

KNKJ – I

  • Diselenggarakan di Malang tahun 2001
  • Merupakan ajang dialog antar pelaku lintas profesi dan disiplin yang peduli pada masalah kesehatan jiwa
  • Menegaskan perlu adanya kerjasama berbagai kalangan

 

Rekomendasi KNKJ – I

  • Pengembangan kebijakan dan kelembagaan. Untuk melaksanakan upaya menanggulangi masalah / gangguan jiwa masyarakat yang multidimensi, diperlukan pengembangan kebijakan nasional tentang sistem kesehatan nasional. Pencanangan gerakan nasional penanggulangan masalah kesehatan jiwa dan kebijakan pengembangan kelembagaan di tingkat nasional dan daerah.
  • Pengembangan upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Untuk mengikis stigma di masyarakat tentang gangguan jiwa, diperlukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan masyarakat dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan jiwa.
  • Pengembangan jejaring networking pelayanan kesehatan jiwa komunitas. Sebagai sarana komunikasi antar lembaga/organisasi guna menyelaraskan dan mengefektifkan kegiatan penanggulangan masalah kesehatan jiwa masyarakat.
  • Pengembangan kemampuan penyebaran informasi
    Untuk mendukung penyebarluasan kebijakan dan kegiatan penyebaran informasi tentang KESWA.

 

Rekomendasi KNKJ – I

  • Pelatihan dan pendidikan kesehatan jiwa masyarakat guna mendukung sistem kesehatan jiwa yang memadai
  • Penelitian mengenai masalah-masalah budaya yang menjadi kendala dalam pelayanan KESWA di berbagai daerah.
  • Pengembangan upaya pendanaan untuk membiayai semua aktivitas penyelenggaraan gangguan kesehatan jiwa.
  • Pengembangan system informasi masalah kesehatan jiwa komunitas. Upaya penanggulangan masalah KESWA memerlukan data/informasi tentang keberadaan kasus-kasus gangguan jiwa yang rinci dan akurat, yang diperlukan bagi upaya program aksi, monitoring dan evaluasi program.
  • Penemuan tokoh panutan. Diperlukan untuk dijadikan contoh dan motor penggerak usaha-usaha penanggulangan kesehatan jiwa masyarakat secara nasional.

 

KNKJ – II

  • Diselenggarakan di Jakarta tahun 2003 dengan tema “Our Nation at Risk
  • Berbicara tentang “jiwa bangsa”
  • Terjadinya penyimpangan dalam proses internalisasi system nilai antar generasi, telah menimbulkan gesekan-gesekan yang bias berpotensi menjadi ancaman bagi keharmonisan kehidupan bermasyarakat
  • Kerugian ekonomi yang besar sebagai akibat gangguan KESWA
  • Pengingkaran-pengingkaran atas nilai-nilai dan norma-norma kebenaran dan kebaikan tanpa rasa bersalah
  • Diagnosa bahwa kondisi kejiwaan bangsa sedang sakit
  • Mata rantai risiko: “our children at risk” – “our family at risk” – “our community at risk” – dan pada ujungnya “our nation at risk

 

Sub-tema KNKJ – II

  • Masalah psikososial masyarakat Indonesia
  • Politik kebangsaan: menjadi Indonesia
  • Menuju kebangkitan kembali jiwa bangsa
  • Melahirkan dan menggulirkan gerakan KESWA masyarakat

 

KNKJ – III

  • Memperluas platform gerakan dengan menggalang kerjasama regional
  • Diselenggarakan di Jakarta tahun 2006
  • Diselenggarakan bersamaan dengan Kongres ke-10 AFPMH dan ASEAN Forum on Child and Adolescent Psychiatry ke-14
  • VISI: Mental health for everyone as a basic human right
  • MISI:
  1. Promote universal availability of affordable mental health services
  2. Reduce the burden of mental illness on the individual, the family and society
  3. Work for optimal de-stigmatization of mental illness
  4. Conduct public education on mental illness and the importance of mental health
  5. Raise the standards of practice through continuing professional education
  6. Promote research to advance knowledge and upgrade mental health care
  7. Propagate advocacy to influence government and mold public policy

Melihat Ke Depan

  • KNKJ – I, KNKJ – II dan KNKJ – III telah memulai dengan mengubah cara berpikir dan bertindak secara sistemik oleh berbagai kalangan yang peduli pada kesehatan jiwa masyarakat melalui dialog dan jejaring komunikasi yang harus selalu dibangun dan dikembangkan
  • Segenap pemikiran ini seharusnya menjadi “gerakan” yang dapat secara nyata memberikan sumbangan bagi pembangunan bangsa ini

Mengintroduksi 4 kuadran intervensi KESWA jangka panjang

•       Wilayah Intervensi 1 (Kuadran 1)
Pengembangan pengetahuan kritis tentang kesehatan jiwa

•       Wilayah Intervensi 2 (Kuadran 2)
Pemetaan dan penilaian berkala dari kondisi-kondisi yang berpengaruh pada persoalan kesehatan jiwa

•       Wilayah Intervensi 3 (Kuadran 3)
Tindakan kolaboratif strategis

•       Wilayah Intervensi 4 (Kuadran 4)
Pengembangan sistem dukungan publik untuk penanganan persoialan kesehatan jiwa

 

Catatan Pra-RTD

Faktor-faktor yang Paling Berpengaruh pada Urusan Kesehatan Jiwa di Indonesia

Dua Fokus Terkait

  • Lokasi sosial urusan kesehatan jiwa di Indonesia setelah kemerdekaan. Faktor risiko kesehatan jiwa lebih besar daripada faktor pengurusan kesehatan jiwa.
  • Lokasi keilmuan dan profesional urusan kesehatan jiwa pada selang waktu yang sama. Wilayah eksplorasi dalam hal ini bukan saja pada kemajuan dalam disiplin-disiplin yang terkait dengan kesehatan jiwa, melainkan juga keragaman perspektif, kepahaman, pendekatan, operasionalisasi, perkakas terapan dalam tradisi keilmuan psikiatri dan ilmu keperilakuan (terutama psikologi).

 

Agenda Kerja/Belajar Jejaring serta Kerangka Waktunya

  • Fokus pertama adalah menghasilkan sebuah sketsa awal tentang kemendesakan dan kegawatan sisi permintaan akan investasi energi dalam soal kesehatan jiwa.
  • Fokus kedua adalah mengenali respons para pelau utama profesi dari riset mereka.
  • Persoalan: Bagaimana mengawal proses workshop untuk menghasilkan format keluaran yang cukup “operasional”?

 

Pertimbangan tentang Kelengkapan Syarat Belajar dan Syarat Perubahan di Dalam Negeri

  • Indonesia masih menduduki salah satu tempat terbelakang di Asia Tenggara dalam banyak aspek pengurusan kesehatan jiwa.
  • Legislasi untuk kesehatan jiwa dan rumusan ketentuan publik untuk kesehatan jiwa lainnya masih jauh dari apa yang dibutuhkan untuk sungguh-sungguh mengurus kesehatan jiwa pada skala mikro.
  • Dari mana saja dapat diharapkan bergabungnya “darah baru” untuk mengelola dan melangsungkan program Jejak Jiwa?
  • Bagaimana strategi pembaruan kerangka social policy untuk memperbesar alokasi sumber-sumber daya untuk urusan kesehatan jiwa/psikososial?
  • Program-program dan riset macam apakah yang responsif terhadap sumber pengubah faktor risiko KJ, seperti proses sosial yang jauh lebih rumit, meluasnya wilayah distress yang terkait ekonomi, situasi lokal, serta ruang-hidup tanpa jaminan keselamatan dan perlindungan bagi para pengungsi ekonomik dari desa.

 

Pertimbangan tentang Garis Depan Kemajuan Profesi serta Wilayah-wilayah Temu Antar Disiplin

  • Objek telaah psikiatri dan psikologi telah mulai menggeser garis depan perbedaan prinsipil di antara keduanya, dari dikotomi epistemologis yang bersifat diskret menjadi sebuah polaritas.
  • Perlu dipertimbangkan pemetaan wilayah-wilayah potensial dalam kolaborasi keilmuan, yang paling relevan dengan segenap setting sosial dan kelembagaan, dengan sebuah heuristik yang tidak deterministik.
  • Berkembangnya perhatian lebih serius pada kedudukan etis dari rantai intervensi di profesi psikiatri dan psikologi.
  • Persoalan “kesehatan jiwa” telah didudukkan dalam peta-peta proses sosial yang jauh lebih luas dari domain intervensi ilmu-ilmu perilaku atau psikiatri.

 

Wilayah Belajar untuk Urusan Kesehatan Jiwa

Alur pembahasan paralel:

  • Pembahasan kritis tentang arah pengembangan lanjut dari DSM dan relevansinya dengan agenda Jejak Jiwa;
  • Agenda Riset untuk DSM-V (First, 2002)
  • Memperkaya basis data empiris lewat upaya-upaya untuk mendorong riset.
  • Merumuskan sebuah agenda riset dan analitis untuk membantu pemanduan temuan-temuan dari riset dan pengalaman dalam studi hewan, genetika, neurologi, epidemiologi, riset klinis, dan pelayanan klinis lintas-budaya, menuju sebuah sistem klasifikasi yang kokoh secara ilmiah.
  • Pembahasan kritis tentang wilayah-wilayah teliti strategis bagi disiplin-disiplin yang terwakili kepentingannya dalam urusan kesehatan jiwa, sebagai bagian dari rumusan agenda penelitian jangka panjang dari Jejak Jiwa.

 

Kerangka Waktu dan Tahap Belajar Awal dari Pengembangan Jaringan

Fase 1: Pemetaan awal Agenda Belajar Jejak Jiwa

  • Kondisi-kondisi khas wilayah untuk keselamatan dan kualitas hidup
  • Wilayah depan kemajuan keilmuan dan profesi

Fase 2: Pemetaan Fungsi dan Unsur Jaringan Belajar

  • Fokus-fokus agenda riset dan pendidikan
  • Fokus-fokus kompetensi sasar lembaga dan pelaku kunci Jejak Jiwa
  • Fokus-fokus bagi kerja antar lembaga dan pelaku kunci

Fase 3: Perumusan dan Penyepakatan Jadwal Pokok Jejak Jiwa

  • Peta kebutuhan energi dan personil pengelola kegiatan
  • Jadwal dan tempo kegiatan pihak-pihak lain di dalam/luar negeri
  • Kesediaan dan kapasitas pendukung dan perintis Jejak Jiwa

 

Anakmu Bukan Milikmu

Anak adalah kehidupan, mereka sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri.

Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang, yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.

Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.

Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia merentangmu dengan kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.

Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

Khalil Gibran

Prof Dr Quraish Shihab: Orang Awam itu tidak Punya Mazhab

“Orang Awam itu tidak Punya Mazhab”

Sumber: Al-Huda, 2007, Jakarta, Syi’ar : Satu umat yes, satu mazhab no..! edisi maulid, April 2007, hal.52-58
Berbicara tentang tafsir dan ilmu tafsir di Indonesia tidak mungkin dapat dilepaskan dari figur kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 63 tahun yang lalu ini. Muhammad Quraish Shihab, cendekiawan Muslim dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998), tidak diragukan lagi adalah—selain penulis produktif dalam tema-tema keislaman—satu di antara sedikit sekali mufasir Indonesia yang telah menyusun tafsir al-Quran secara lengkap. Al-Mishbâh, karya doktor bidang ilmu-ilmu al-Quran Universitas al-Azhar, Kairo, ini, merupakan tafsir lengkap pertama khas Indonesia dalam 30 tahun terakhir.

Perhatiannya terhadap Ulumul Quran di Indonesia menempatkannya sebagai “avant garde” perkembangan ilmu langka ini di tanah air. Di sela-sela kesibukannya menulis, mengajar, dan membimbing mahasiswa pascasarjana, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah, Jakarta, ini menyempatkan diri berbincang dengan SYIAR seputar perkembangan tafsir dan ilmu tafsir serta sumbangsih keduanya bagi Muslim Indonesia.

Bagaimana perkembangan dunia tafsir di Indonesia?

Perkembangan dunia tafsir di Indonesia lumayan baik. Mereka (para ahli tafsir Indonesia—red) memang belum menyusun kitab tafsir yang sempurna. Tetapi, ada tulisan-tulisan orang-orang Indonesia yang berkaitan dengan tafsir atau pemahaman al-Quran. Bahkan, baru-baru ini di Yogyakarta ada disertasi tentang tafsir-tafsir yang berkembang di Indonesia. Ada juga karya-karya tafsir dengan tema-tema tertentu, hanya saja ini tidak tersebar luas. Misalnya, (kata—red) kufur dalam al-Quran itu apa, Ahlulkitab dalam al-Quran itu apa. Sebelum ini, Dawam Rahardjo juga menulis tafsir. Kami juga sekarang ini sedang mencetak buku berkaitan dengan tafsir, yang dinamakan “Ensiklopedia al-Quran” yang ditulis sekian banyak sarjana Indonesia yang saya koordinasi. Hanya saja semua ini tidak tersebar, tidak seperti al-Mishbâh yang dimuat di televisi.
Apakah ada perbedaan antara mufasir Indonesia dan Timur Tengah?
Pasti. Setiap pemikir dipengaruhi oleh banyak hal. Salah satunya adalah kondisi sosialnya. Selama itu hasil pemikiran sendiri dan bukan jiplakan pasti ada pengaruhnya.
Buya Hamka itu sastrawan sehingga, dari segi sastra dan bahasa, (tafsirnya—red) sangat menarik. Dia juga generalis, banyak tahu bidang ilmu pengetahuan. Dia juga rasionalis sehingga penafsirannya pun rasional. Nah, setiap orang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Tidak ada orang yang memonopoli kebenaran kecuali Rasulullah saw. Tidak pula ada orang yang memonopoli kesalahan. Semua orang bisa benar maupun salah. Apa yang dikemukakan lima org yang berbeda, sebagai contohnya, bisa jadi benar semua. Paham saya seperti itu. Jadi, janganlah lantas berkata, pasti semua benar. Tidak bisa begitu. Apalagi saat bicara al-Quran, kita bisa benar dari sudut ini sementara dari sudut lain pun bisa benar pula.
Banyak perspektif ilmuwan Muslim kontemporer memakai konsep hermeneutik yang sosiologis dan kontekstual. Bagaimana pandangan Anda?
Hermeneutik sebenarnya bukan hal baru. Hanya pengembangannya sekarang ini bisa jadi berbeda dengan pengembangan hermeneutik pada masa lalu. Sejak dulu, ulama kita juga sudah memberikan perhatian kepada makna-makna kebahasaan suatu kata. Sejak dulu, mereka sudah memahami ayat-ayat al-Quran atau hadis berdasarkan konteks atau teksnya. Yang kita tidak setuju dari hermeneutik adalah bila kita ingin menjiplak 100% hermeneutika dan tata cara ketentuannya sebagaimana orang Barat memahami kitab suci mereka.
Mereka, misalnya, mengajarkan untuk meragukan teks. Ini berbeda dengan kita. Bila Anda Muslim, Anda tidak perlu meragukan teks. Mereka (Barat—red) mempunyai problem bagaimana bisa firman Tuhan yang tidak terbatas dapat dipahami makhluk-Nya yang terbatas sehingga ada perantara, dan lain sebagainya. Bagi kita, itu bukan problem. Kita memang tidak bisa memahami kitab suci al-Quran semata-mata berdasarkan teksnya. Kita juga memperhatikan konteks, yang kita namai “asbâbun-nuzûl”. Kita memahami bahwa al-Quran atau teks al-Quran mengubah makna-makna semantik suatu kata.
Dulu, kata salat berarti ‘doa’. Tetapi, al-Quran mengubah makna semantiknya sehingga salat bukan lagi selalu berarti ‘doa’. Ini kan bahasan yang sudah ada sejak dulu. Jadi, kita tidak menolak hermeneutik secara keseluruhan. Kita punya catatan-catatan menyangkut hermeneutik yang ingin diterapkan.
Ada kalangan yang mengatakan teks itu bisu, mufasirlah yang membuatnya “berbicara”?
Saya ingin berkata begini, teks itu punya makna tetapi yang mengetahui makna itu secara persis hanya Tuhan dalam al-Quran. Makna hakikat suatu teks hanya bisa diketahui melalui pengucapannya. Maka, siapa yang mendengar teks al-Quran, dialah yang memberi makna pada teks itu, tetapi makna yang dipahaminya itu bersifat relatif.
Saya beri contoh. Saya berkata, “Saya juga belum makan,” apa maknanya? Artinya bisa berarti ‘saya masih kenyang’ atau ‘saya juga belum makan, maka jangan habiskan makanannya’, dan lain-lain. Penafsiran-penafsiran sifatnya relatif. Yang tahu maknanya cuma Tuhan. Begitulah. Nah, kalau teks bisu dipahami seperti itu, saya sih okay saja.
Apakah sama sekali tidak ada pesan yang bisa ditangkap oleh pembaca yang bisa menimbulkan pemaknaan?
Sedikit sekali. Itu pun bukan hanya dari teks melainkan bersama sekian bukti-bukti yang mengiringinya. Saya beri contoh. Salat itu wajib. Dari mana Anda memahami itu? Ini berarti ada hal lain yang membuat Anda paham salat. Maka itu, dalam tafsir, ada yang dinamai qathi dan zanni. Apa yang Anda anggap benar bisa jadi dinilai orang lain sebaliknya.
Jadi, kita tidak bisa mengklaim semua kebenaran milik kita. Imam Abu Hanifah mengungkapkan hal ini dengan baik sekali. Kata, “Kebenaran itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak memuat kepalsuan, dan mungkin kepalsuan adalah sesuatu yang sama sekali tidak memuat kebenaran.” Itu sikap yang seharusnya kita ambil terhadp siapa pun yang kita duga punya maksud baik terhadap Islam, sedangkan sikap sebaliknya bagi mereka yang punya indikator-indikator sangat jelas ingin menghancurkan Islam.
Imam Ali pernah berkata, “Bacalah al-Quran dan ajaklah bicara.” Bagaimana pandangan Anda?
Itulah yang oleh Muhammad Baqir Sadr dijadikan dasar bagi terciptanya metode mawdhu’i atau tawhidi. Anda punya problem, jangan cari solusi ke mana-mana, tetapi cari dan bukalah al-Quran. Itu namanya “istintaq bil-quran”. Nanti, al-Quran yang akan menjelaskan. Tapi, harus digarisbawahi bahwa penjelasan itu menurut versi dia (si pembaca).
Ini berarti ruang eksplorasi dalam tafsir lebih luas daripada fikih?
Kalau kita bicara Islam, sumber rujukannya adalah al-Quran. Semua ilmu keislaman pun lahir dari al-Quran. Mulai dari nahwu, sharaf, kalam, fikih, balaghah, dan lain-lain. Sehingga semua orang, bahkan yang non-Muslim, yang ingin bicara tentang Islam pasti merujuk ke al-Quran.
Al-Quran tidak menjadi sekat. Al-Quran, yang perlu kita ketahui bersama, hanya akan menjadi sekat apabila pandangan kita picik, seperti ungkapan, “Lihat ini, al-Quran berkata ini, yang lainnya tidak.” Tapi, bila pandangan kita luas, kita akan mengatakan bahwa yang berbeda-beda dengan kita pun mempunyai dalil.
Antara Imam Syafi’i dan Imam Malik juga berbeda. Antara Imam Malik dan Abu Hanifah beda. Begitu juga dengan dan antar-ulama lain seperti Imam Jafar. Biarkan saja semua begitu.
Kita menemukan fenomena monopoli tafsir, terhadap teks, ayat, maupun riwayat. Sehingga semua pandangan selainnya adalah salah. Dia tidak bisa membedakan antara teks dengan penafsiran terhadap teks. Sekarang ini, masyarakat menjadi ragu untuk berbeda pandangan. Ini yang perlu diluruskan.
Semua pendapat bisa jadi benar. Dalam konteks ini, agama bisa diibaratkan seperti angka 10. Bagaimana kita bisa mendapatkan angka 10? Ada yang bilang 7+3, benar, ada lagi yang bilang 6+4, 5+5, benar juga. Yang penting Anda pilih yang Anda anggap paling benar.
Sejauhmana Anda mengakrabi tafsir-tafsir Syiah?
Saya merujuk Thabathaba’i, Thusi, Thabarsi, dan ulama-ulama lain dari berbagai mazhab, seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Quthb. Kalau Anda ingin melihat bagaimana tafsir saya, lihatlah tafsir al-Mishbâh. Saya punya gagasan tentang pentingnya memahami literatur-literatur di luar mazhab kita sendiri. Saya sering dinilai orang bukan Muhammadiyah, bukan NU, tidak mengapa. Yang penting jangan ada yang menganggap saya bukan Islam (tertawa—red).
Saya sependapat dengan ulama-ulama yang berkata, bahwa ulama yang hanya mengajukan satu pendapat saja bisa menimbulkan kesan hanya pendapat itu saja yang benar. karena itu, kalau saya ditanya orang, saya paling suka menjawab bahwa si A berkata itu, si B berkata ini, dan si C berkata begini. Tetapi, kalau kita hanya mengacu kepada satu hal, pasti itu tidak benar.
Namun, bagi sementara orang itu membingungkan. Dalam beberapa buku, saya dikritik. Yang mana pendapat Quraish Shihab yang sebenarnya, berilah masyarakat sebuah pendapat yang pasti.
Saya jadi bertanya balik. Kenapa kalau Anda ke pesta, lalu Anda dihidangkan teh, kopi, jus, dan bermacam panganan, Anda tidak bingung? Anda bisa katakan semua Anda sukai. Pilihlah yang Anda suka. Semua bisa benar. Karena prinsipnya, orang awam itu tidak punya mazhab. Dia hanya memilih mazhab bergantung pada siapa mufti yang memberinya jawaban.
Jadi, yang bermazhab hanya sedikit orang?
Bukan sedikit atau banyak, tetapi karena pilihan awam itu. Kenyataannya, bermazhab itu banyak. Tetapi, kalau kita bicara dari segi hukum, orang awam tidak bermazhab. Mazhabnya adalah siapa tempat dia pergi bertanya.
Dulu ada yang bertanya kepada Prof. Ibrahim Hosen. Orang itu bercerai talak tiga dengan istrinya. Dia tanya, bolehkah dia kembali atau rujuk lagi? Ibrahim Hosen tanya, apakah dia masih mencintai istrinya. Orang itu menjawab, iya. Maka, Ibrahim Hosen katakan, dia boleh kembali rujuk meskipun telah talak tiga karena (talak tiga itu—red) terjadi dalam satu majelis.
Dalam fikih Syafi’i, Abu Hanifah, dan lain-lain dikatakan bahwa talak tiga jatuh meskipun terjadi dalam satu majelis. Maka, saya bertanya kepada Prof. Ibrahim kenapa. Prof. Ibrahim katakan, orang itu masih mencintai istrinya. Kalau dia tidak setuju dengan pendapat saya, maka dia akan pergi ke ulama lain sampai dia bertemu ulama yang membolehkannya rujuk kembali. Daripada dia capai-capai, lebih baik saya bolehkan saja.
Orang awam itu tidak punya mazhab. Di Indonesia, mazhab kita adalah Syafi’i karena pada umumnya ulama menjawab berdasarkan atas jawaban-jawaban yang diberikan Imam Syafi’i.
Kalangan modernis mengatakan perlunya kontekstualisasi dan menimba ilmu dari Barat karena mereka punya metodologi yang tidak dipunyai ulama Timur Tengah. Bagaimana pendapat Anda?
Belum tentu. Saya tidak menolak mengambil dari siapa pun. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip pokok yang disepakati siapa pun. Dari siapa pun, Anda bisa memungut kebenaran. Bahkan, dari seorang gila sekalipun. Kita hanya berkata, orang yang baik akidahnya akan berhati-hati dalam berpendapat. Tetapi, kepada orang yang tidak baik akidahnya, Anda dituntut untuk berhati-hati dua kali. Karena yang pertama hanya salah paham. Sedangkan yang kedua boleh jadi salah paham dan boleh jadi pula dia subjektif. Namun, kemungkinan benarnya tetap ada kan? Adakah pemahaman orientalis yang benar? Harus ada. Yang bagus kita ambil.
Namun, untuk masuk ke al-Quran itu sendiri, apakah ada metodologi atau alat khusus?
Ada. Ilmu alat khusus? Harus tahu nahwu. Harus tahu bahasa. Bagaimana Anda mau menafsir bila tidak tahu bahasa. Maka lahirlah ilmu-ilmu khusus itu.
Dalam Membumikan al-Quran, saya bisa memahami orang-orang yang mengatakan bahwa syarat-syarat untuk menafsirkan al-Quran selama ini terlalu ketat. Saya katakan bahwa saya tidak memakai syarat. Saya hanya meminta Anda untuk tidak salah. Nah, kesalahan yang utama biasanya dia tidak tahu bahasa. Kalau Anda mau menafsirkan al-Quran tetapi tidak mengerti bahasa, mintalah bantuan orang lain yang mengerti bahasa Arab. Anda tidak tahu konteks. Anda tidak tahu siapa yang berbicara. Hindarkanlah semua kesalahan itu, insya Allah bisa benar.
Kalau Ulumul Quran sendiri?
Ulumul Quran di kalangan ulama tafsir dikatakan sebagai ilmu yang membantu seseorang untuk memahami al-Quran. Karena ilmu-ilmu ini begitu banyak, kita tidak ingin menakutkan orang. Maka kita berkata, kalau tidak bisa, Anda bisa bekerja sama dengan orang lain.
Salah satu sebab kesalahan yang lain adalah menafsirkan ayat tetapi tidak tahu disiplin ilmu. Satu contoh, al-Quran bicara tentang astronomi. Yang tidak paham astronomi pasti salah penafsirannya.
Dengan kata lain, dengan al-Quran itu sendiri, kita tidak bisa memahami ilmu lain?
Kita bisa menjadikan al-Quran titik tolak untuk membahas (ilmu lain—red). Dulu, ulama menafsirkan firman Allah, yakhruju minhumâ al-lu`lu` wal-marjân (Dari keduanya keluar mutiara dan marjan [QS. 55:22]—red). Ulama berkata, minhumâ berarti minhu. Sebenarnya, semestinya mereka tidak cepat-cepat berkata bahwa al-lu`lu` wal-marjân itu hanya dari laut karena al-Quran berkata minhuma (dari keduanya—red), dari laut dan sungai. Mestinya mereka menjadikan ayat ini sebagai dasar bagi penelitian sungai. Namun, tidak ada umat Islam yang teliti dan justru orang non-Muslim (yang meneliti—red).
Sebagai sumber rujukan semua ilmu, bisakah al-Quran dijadikan hukum positif di suatu negara?
Kalau masyarakatnya sepakat bisa saja. Persoalan kita sekarang kan, masyarakat tidak sepaham. Anggaplah Mesir menjadikan Islam sebagai agama negara. Al-Quran sebagai sumber hukumnya. Namun, di Indonesia kan tidak demikian. Kita belum sepakat soal itu.
Bagaimana dengan monopoli tafsir al-Quran versi negara?
Tidak ada. Selama negara tidak melarang aneka pendapat yang sesuai dengan koridor, pemerintah bisa menetapkan suatu ketetapan untuk menghindari perbedaan pendapat. Di Indonesia, misalnya, penentuan lebaran ada yang memakai rukyat dan hisab. Hukmul hâkim yuzillu al-khilâf (keputusan hakim mengangkat perbedaan—red). Mestinya begitu kan. Hakim atau pemerintah harus bijaksana dalam melihat apa yang paling maslahat bagi umat.
Bagaimana persatuan umat di ekstra dan intra Islam sendiri?
Saya mengimbau setiap umat untuk kembali kepada ajaran agamanya, yang mengajarkan kedamaian dan pluralisme. Pluralisme bukan sekadar membiarkan orang lain yang berbeda dengan kita itu hidup. Tetapi, pluralisme juga berarti mencari titik temu sehingga kita bisa bertemu. Kalau kita berbeda, silakan kita berbeda tetapi masih dalam persatuan. Kita ini beda-beda, bukan cuma antara Sunnah-Syiah, antara satu mazhab pun bisa berbeda. Pendapat ulama di internal mazhab Syafi’i pun bisa berbeda-beda.
Sebenarnya pertemuan antar-mazhab jauh lebih banyak daripada perbedaannya. Kita, misalnya, bertemu menyangkut keesaan Allah. Kita bisa kumpulkan ulama dan membuktikan bersama-sama tentang bukti-bukti keesaan Allah. Sehingga setiap orang tidak segan-segan membaca buku yang ditulis oleh orang yang tidak semazhab dengannya di bidang tersebut. Jangan jadi orang yang menuding. Misalnya, saya mengutip Thabathaba’i, kemudian langsung dituduh oh ini Syiah karena mengutip mufasir syiah. Kenapa kalau saya mengutip sesama muslim dikecam sedangkan saat mengutip Plato dan orang-orang Barat tidak? Ini kan tidak benar.
Selama ada argumentasi yang baik meski beda mazhab, saya akan cantumkan, karena sejalan dengan pemahaman saya. Begitu juga bila argumentasi itu tidak sejalan dengan pemahaman saya, akan saya katakan tidak sejalan meskipun satu mazhab.
Sekarang ada fenomena sekelompok orang yang suka mempersoalkan hal ini, hanya karena mengutip pendapat-pendapat dari ulama yang berbeda mazhab, malah ada yang menganggap sesat. Orang-orang seperti ini akan habis dan ketinggalan kereta. Itu memang proses.
Dulu, di Mesir ada fenomena saling menjelek-jelekkan antar-mazhab. Namun, setelah wawasan orang semakin luas, pemahaman sempit ini lama kelamaan habis.
Apakah setiap mufasir harus hapal al-Quran?
Tidak. Dulu memang harus hapal al-Quran karena belum ada CD-ROM. Yang penting, dia memiliki pengetahuan secara umum tentang al-Quran. Dia bisa saja mengingat suatu ayat tetapi tidak hapal persis. Dia harus hapal al-Quran, iya, tetapi tidak harus hapal semua teks al-Quran.
Kita jangan terlalu memperberat syarat unutk mempelajari al-Quran karena hanya akan menjauhkan orang dari al-Quran. Kita justru beri kemudahan. Karena itu, ada ulama yang membedakan antara pemahaman dan penafsiran al-Quran. Thabathaba’i membedakan antara tathbîq dan tafsir (penerapan dan penafsiran). Tujuannya, supaya semua orang bisa semakin dekat dengan al-Quran. Tafsir lebih berat daripada tathbîq.
Sedangkan tadabbur dilakukan sebelum menyampaikan tafsir. Saya mengamati, memperhatikan, dan merenungkan. Hasil itulah yang disebut tadabbur.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa bahasa yang dipakai al-Quran bukanlah murni bahasa Arab melainkan juga memuat bahasa lain?
Itu benar. Seperti kata informasi. Itu bahasa apa? Itu bahasa Inggris yang sudah jadi bahasa Indonesia. Qirthâs itu bukan bahasa Arab. Jamharir juga bukan bahasa Arab. Banyak lagi. Zarabi dalam zarâbiyyu mabtsûsah juga bukan bahasa Arab.
Bagaimana cara Anda mendidik keluarga untuk mencintai al-Quran?
Secara khusus, tidak ada. Namun, saya selalu menyempatkan diri bersama keluarga membaca atau mendengar kisah-kisah dalam al-Quran. Saya juga memberi kesempatan mereka untuk banyak bertanya. Cucu saya, kelas 4 SD, sedang menyusun pertanyaan-pertanyaan yang harus saya jawab. Dia katakan ada seratus pertanyaan yang telah tersusun. Saya katakan bahwa saya akan buatkan buku, “Jawaban kakek kepada cucunya”. Dia, misalnya, bertanya, bagaimanakah Tuhan itu. Itu pertanyaan anak-anak. Kenapa sih ada malaikat. Saya takut mati. Pertanyaaan khas anak-anak.
Jadi, sebenarnya, kita tidak bisa lagi menggunakan cara orang tua kita dulu dalam mendidik anak. Dulu, begitu azan magrib, kita harus berkumpul di rumah untuk salat berjamaah. Sekarang tidak bisa lagi. Karena, jam 6 sore masih ada film kartun. Orang tua menunda salat agar anak-anak bisa ikut salat, atau mereka salat dulu dan menyuruh anak-anak salat sendiri.
Anak-anak sekarang bisa lebih banyak tahu daripada orang tua mereka. Dia buka internet. Dia punya kesempatan lebih banyak. Remaja kita sudah lebih pintar daripada kita dalam memperbaiki komputer. Jadi, pola mendidik anak memang sudah perlu diubah.
Keluarga Anda adalah orang-orang besar. Apa yang terjadi saat Anda berkumpul bersama mereka?
Kita bersahabat. Ayah mendidik kita untuk bersahabat dengan ibu dan anak-anak. Anak-anak perempuan dekat sekali dengan ibunya sehingga dia bisa curhat kepadanya dan tidak perlu curhat kepada orang lain. Saudara-saudaranya dijadikan sahabat. Hubungan saya yang terdekat dengan Alwi Shihab (mantan menko kesra—red) karena pernah tinggal bersama.
Di beberapa tempat, banyak muncul fenomena anak-anak kecil penghapal al-Quran. pada saat yang sama, serbuan budaya asing menyulitkan orang tua untuk fokus mendidik anak. Bagaimana komentar Anda?
Beberapa hari yang lalu, saya kedatangan rombongan Pesantren Lirboyo. Mereka membawa empat anak. anak-anak itu baru dididik satu bulan dan sudah menghapal Juz Amma. Bukan cuma menghapal, mereka bisa meneruskan penggalan ayat yang kita sebutkan. Mereka juga bisa menerjemahkan. Mereka juga bisa menyebutkan ayat secara lengkap hanya dengan dipancing nomornya saja. Saat dites dengan membaca ‘amma yatasâ`alûn, mundur dari belakang pun ternyata anak-anak umur 6-7 tahun itu pun mampu.

Bagi saya, fenomena itu menunjukkan mukjizat al-Quran. Artinya, al-Quran sangat mudah dihapal. Kedua, kita masih bisa mengembangkan hal-hal baru yang dulu belum sempat dikembangkan.