Category Archives: Uncategorized

Kesehatan Mental: Memikirkan Kembali Sikap-sikap Kita

Pada 15 Agustus 2022, saya mengisi Diskusi Panel di AIESEC in BINUS dengan payung topik besar Balancing between Physical Health and Mental Health (Menyeimbangkan Kesehatan Fisik dan Kesehatan Mental).

Kegiatan ini merupakan rangkaian SDG Level Up, di mana salah satu tujuan (nomor 3) dari SDG adalah Good Health and Wellbeing. Berdasarkan prospektus yang saya terima, tujuan Diskusi Panel ini adalah: (1) Explain why it is important to seek a balance between physical and Mental Health particularly regarding how thoughts affect person’ mental health; (2) Elaborate on what should be done to continuously maintain balance between physical and Mental Health. Particularly regarding how thoughts affect person’ mental health.

AIESEC in BINUS merupakan bagian dari AIESEC in Indonesia. AIESEC di Indonesia didirikan pada tahun 1984 sebagai entitas negara resmi AIESEC International. AIESEC di Indonesia kini tersebar di 26 Kantor Lokal di 18 kota dan 34 universitas dengan sekitar 1500 anggota aktif setiap tahunnya dan mengirim dan menerima lebih dari 2000+ pemuda untuk melakukan pertukaran sebelum pandemi COVID-19. Di era COVID-19 ini, AIESEC di Indonesia berusaha lebih relevan dengan menginisiasi beberapa program dan acara virtual baru.

Berikut ini adalah sejumlah dokumentasi. Saya berbicara sebagai panel discussant bersama dengan Prof. Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D, Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan dan Kedokteran Sosial, Universitas Gadjah Mada. Ketua Panitia kegiatan kali ini adalah Vivian Gabrielle dari Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, BINUS University.

Musim Psikologi Kritis di Indonesia

Saya mengikuti Bandung Critical Psychology Conference 2022 pada 4 Agustus 2022 (yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran), juga International Short Course on Decolonizing Psychologies, 8-9 Agustus 2022 (yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan).

“Ko-insiden” tersebut bukanlah sebuah kebetulan, dan bagi saya sangat berharga untuk diikuti. Semoga keikutsertaan saya dan rekan-rekan yang peduli dengan Psikologi Kritis ada juga manfaatnya baik langsung maupun tidak bagi pengembangan psikologi di Indonesia.

Komite Etik

Komite etik, khususnya Komite Etik Penelitian, tidak hanya mengawal kualitas etis dari substansi dan prosedur penelitian, melainkan juga mengantisipasi dampak etis penelitian terhadap kesejahteraan masyarakat.

Oleh karenanya, persyaratan Anggota Komite Etik hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Sebagai contoh, Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 42 Tahun 2018, menyebutkan bahwa persyaratan anggota komite etik adalah: a. tidak pernah melakukan perbuatan tercela; b. sehat jasmani dan jiwa; c. memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman bekerja di bidang etik dan/atau hukum; d. mengikuti pelatihan etik dan hukum rumah sakit; e. bersedia bekerja sebagai anggota Komite Etik dan Hukum; dan f. memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah etik, hukum, sosial lingkungan dan kemanusiaan.

Komite Etik juga perlu bekerja secara transparan, minimal dapat diakses publik nama-nama Ketua dan Anggotanya serta cara kerjanya. Sayangnya, masih ditemukan Komite Etik yang tidak diketahui susunan anggotanya, padahal menarik biaya juga.

Image source: http://irb.ucsf.edu/sites/hrpp.ucsf.edu/files/word-cloud-ucsf.png

Psikologi Kematian: Yang Bagaimana?

Psikologi kematian jelas bukan Teologi kematian. Banyak penulis mencampuradukkan kedua hal tersebut. Oleh karena itu, perlu kajian dan studi empiris mendalam terhadap Psikologi Kematian.

Dalam perjalanan hidup, atas perhatian saya terhadap tema kematian yang diangkat ke tingkat psikologis, saya menghasilkan sejumlah karya di bidang psikologi ini:

Pertama, adalah tulisan saya mengenai Teori Manajemen Teror (Psikologi Kematian) dalam Rubrik Sains Majalah MerPsy. Tulisan ini lebih merupakan terjemahan dan saduran dari berbagai sumber untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai: Apakah ada psikologi kematian? Apa implikasi penelitian psikologi kematian? Apa implikasi praktisnya? Apa sajakah salah-paham tentang psikologi kematian? Mengapa perlu bergairah terhadap psikologi kematian?

Kedua, adalah sebuah hasil wawancara mengenai Korupsi dipandang dari Sisi Psikologi Sosial. Dalam interviu ini, saya mengupas kaitan antara cara pandang terhadap kematian dengan peluang berpikir dan berbuat korup, justru karena ketakutan akan kematian itu.

https://bunghattaaward.org/korupsi-dipandang-dari-sisi-psikologi-sosial/

Ketiga, adalah artikel penelitian mengenai Online Impulse Buying. Dalam artikel ini, saya dkk membahas tentang kaitan antara takut mati dengan pembelian impulsif secara daring. Kendati demikian, “kaitan” tersebut lebih bersifat deskriptif, dan memicu penelitian korelasional atau eksperimental lebih lanjut. Dalam artikel tersebut, saya dkk menemukan bahwa:

“Analisis deskriptif tambahan yang menerapkan Teori Manajemen Teror menunjukkan bahwa peserta penelitian dengan saliensi kematian yang lebih tinggi cenderung memiliki lebih banyak pengalaman membeli secara daring, dan mereka cenderung membeli barang-barang yang lebih mewah seperti perhiasan dan jam tangan mahal daripada partisipan penelitian dengan saliensi kematian yang lebih rendah.”

“An additional descriptive analysis applying the Terror Management Theory showed that participants with higher mortality salience tend to have more online buying experience, and they are inclined to purchase more luxurious items such as jewelry and expensive watch than participants with lower mortality salience.”

Keempat, artikel saya mengenai Pendidikan Karakter, bertajuk “Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan (LPTK) Dalam Tantangan: Konvergensi Ilmu Pendidikan dengan Psikologi SosialSerta Hikmah Pembelajaran Lintas BudayaDalam Merajut Proses Pendidikan Berkarakter dan Berbudaya”. Dalam tulisan tersebut, saya menyampaikan pokok pikiran, sebagai berikut:

“Kematian, atau setidak-tidaknya pemikiran tentang kematian, merupakan etos filosofis pertumbuhan karakter seseorang.” Dengan demikian, aktivitas terkait dengan kematian,seperti upacara kematian kultural, baik dialami maupun dipelajari, mampu memfasilitasi pesertadidik mengalami nilai-nilai luhur yang pantas dikejar manusia dan menempatkannya secara integraldalam keseluruhan hidup bersama orang lain (esensi pendidikan karakter). 

Kelima, endorsement saya terhadap buku yang ditulis oleh mahasiswa saya, Bayu Jatmiko, mengenai MORTIDO. Endorsement tersebut dapat dibaca di sini:

Kendati demikian, bunyi aslinya adalah sebagai berikut (sebelum mengalami penyesuaian oleh Penerbit):

Saya telah membaca tema Psikologi Kematian yang termuat dalam berbagai karya, mulai dari psikologi rasionalnya (a.l. Louis Leahy) sampai dengan psikologi empirisnya – yang diwakili teori manajemen teror (Greenberg, Solomon, dan Pyszczynski). Bayu Jatmiko, Sarjana Psikologi dari Universitas Mercu Buana Jakarta, memberikan kontribusi khas terhadap Psikologi ini dengan meletakkan landasan bahwa ada sebuah prinsip paradoksikal dalam ketidaksadaran (lokusnya insting kematian dalam Psikoanalisis Klasik), yaitu Keawasan. Prinsip ini sungguh memiliki kapasitas untuk bertumbuh, beradaptasi, dan menguat, memihaki kehidupan, walau rentan untuk diganggu dan ditekan oleh hasrat rakus berbagai sistem politik, ekonomi, pendidikan, dan kepercayaan. Kerentanan sekaligus kekuatan dari Keawasan, yang dianalisis Bayu dengan pendekatan bio-psikoanalitik-spiritual, menunjukkan bahwa dinamika psikologis kematian justru merupakan dinamika yang –  sebagaimana spekulasi sebagian pihak – asyik, kreatif, produktif, metamorfostis, serta memberadabkan kehidupan. Hanya saja, selamat kepada Bayu atas upayanya: Spekulasi itu kini semakin berkurang beberapa kabutnya. Bayu menegaskan kembali sebuah ajakan sufistis –  yang kini psikologis: Marilah kita mati sebelum mati. Kita ditantang untuk mengembangkan kemauan personal sampai dengan politik untuk menyambut ajakan ini!

Dr. Juneman Abraham, S.Psi.

Psikolog sosial, Universitas Bina Nusantara

Keenam, Psikologi (Pendampingan) Kematian.

Semoga menambah khasanah kita semua mengenai #PsikologiKematian.

Prokrastinasi atau Penunda-nundaan, “Kalau bisa esok (lusa), mengapa harus sekarang?”

Seorang mahasiswa S2 Profesi Psikologi bertanya kepada saya mengenai alat ukur prokrastinasi berbahasa Indonesia yang bisa digunakan untuk kepentingan psikodiagnosis dan konseling.

Selanjutnya, berdasarkan teori persepsi diri (Daryl Bem, 1972) saya melakukan refleksi atas riset-riset dan kajian yang pernah saya bersama teman-teman lakukan terkait topik prokrastinasi ini.

Ternyata, saya dkk. sempat menghasilkan 3 tulisan mengenai prokrastinasi, yakni:

  1. Computer Anxiety, Academic Stress, and Academic Procrastination on College Students, lebih khusus prokratinasi dalam dunia akademik/pendidikan.
  2. Decisional Procrastination: The Role of Courage, Media Multitasking and Planning Fallacy, lebih khusus mengenai prokrastinasi dalam pengambilan keputusan (decision making). Kami meneliti tentang faktor-faktor yang potensial mematahkan prokrastinasi jenis ini.
  3. Saduran/terjemahan: Kemalasan itu Tidak Ada. Pokok pikiran artikel ini adalah bahwa prokrastinasi bukanlah sejenis “trait” (sifat kepribadian). Tidak ada orang yang memiliki “sifat malas”. Perilaku prokrastinasi bukanlah sifat ini, dan bukan bersumber dari sifat ini. Selalu ada faktor situasional yang mampu menjelaskan perilaku penunda-nundaan.